Bukan perkara mudah ketika Indonesia bertahun-tahun harus mengimpor bawang putih tanpa jeda dan harus bermimpi tentang swasembada. Hampir 98 persen stok bawang putih yang kita nikmati dikapalkan dari Tiongkok. Bisa dibayangkan jika angka konsumsi bawang putih di angka 525 ribu ton, sementara produksi hanya 19,6 ribu ton saja. Artinya, sekitar 505 ribu ton harus didatangkan.
Pemerintah, atau Kementerian Pertanian, memulai mimpi swasembada bawang putih beberapa tahun belakangan ini. Digelontorkan lah program Rekomendasi Impor Produk hortikultura (RIPH). Progresnya dapat dikatakan belum terlihat, tapi dengan penuh kepercayaan diri, pemerintah berangsur-angsur menutup keran impor bawang putih. Di sini lah pembuktian hukum pasar yang selama ini sering kita dengar: Stok berkurang, harga naik.
Jalan pintas yang diambil pemerintah untuk menstabilkan harga adalah impor. Dalam keadaan terdesak, pemerintah menugaskan Bulog untuk mengimpor 100 ribu ton bawang putih dengan anggaran sekitar 500 miliar. Hal ini kemudian melukai importir, yang dalam RIPH, harus menanam 5 persen dari kuota impornya.
Bahkan, dapat dikatakan proyek impor ini merupakan pemufakatan jahat dan wujud dari persaingan tidak sehat. Aktornya tentu pihak yang menerbitkan RIPH dan yang menerima proyek impor. Karena, pelaksanaan impor tentu tidak bisa satu atau dua bulan saja. Jika dilakukan terburu-buru, tidak menutup kemungkinan Bulog akan meminta pihak lain untuk melakukan impor atas nama Bulog, apa lagi anggaran yang dikucurkan tidak sedikit.
Bulog semestinya bukan bekerja sebagai importir, tapi lebih evaluator dan stabilisator harga. Biarkan saja persoalan impor diberikan kepada pihak yang lebih paham soal itu. Jika Bulog sudah "berani" untuk mengambil proyek impor, tidak menutup kemungkinan Bulog juga akan "bermain" untuk bahan pangan lain.
Jika saja pemerintah, dalam hal ini Kementan, mau jujur terhadap data, maka tidak perlu ada ribut-ribut soal impor bawang putih ini. Toh, selama ini, tidak pernah ada yang menyoal impor bawang putih, sebanyak apa pun itu. Pemerintah semestinya perlu lebih hati-hati dalam menentukan kebijakan yang berurusan langsung dengan dapur masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H