Ada yang bilang bahwa pena lebih tajam dari pedang. Perumpamaan itu menempatkan tulisan para pewarta bisa lebih mematikan ketimbang pedang. Kata-kata yang sudah sering kita dengar itu menunjukkan bahwa sampai sekarang belum ada yang bisa membantah kebenaran anggapan tadi. Istimewanya lagi, tidak ada yang kebal dari ketajaman pena seorang pewarta.
Seperti misalnya beberapa hari lalu, ketika ada sebuah berita dari media online nasional terkemuka yang mengritik kebijakan ekspor jagung oleh Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman, karena belum lama ini Kementerian Pertanian (Kementan) mengajukan ijin impor jagung.
Paradoks pengelolaan jagung nasional itu menimbulkan pertanyaan yang sengit. Kendati di hadapan pewarta, Mentan Amran Sulaiman menegaskan bahwa langkah paradoksalnya itu diapresiasi oleh legislator kita di gedung parlemen, Senayan.
Ekspor jagung itu sendiri rencananya akan dilakukan dalam waktu dua bulan ke depan atau bertepatan dengan panen raya. Kata Amran, ketika panen raya maka dalam negeri telah terpenuhi dan harga jagung akan berada di bawah Rp 3.000 per kilogram (kg). (Sumber: Detik)
Amran beralasan, dirinya masih layak diapresiasi karena sudah mampu menghentikan impor jagung sebanyak 3,5 juta ton atau setara dengan Rp 10 triliun.
Pernyataan itu terkesan tuna sejarah. Karena pemerintah di akhir tahun 2018 mengimpor jagung sebanyak 100 ribu ton untuk memenuhi kebutuhan. Kemudian di awal tahun 2019 kembali menambah impor sebanyak 30 ribu ton.
Impor yang diajukan oleh Mentan itu dilakukan karena para peternak berteriak lantaran naiknya harga jagung untuk bahan pakan. Selain itu, jagung juga sulit ditemukan di pasaran.
Aksi impor itu juga memicu kritik tajam dari oposisi. Para politisi di luar kubu koalisi pemerintah itu menyoroti inkonsistensi Mentan, dan dikaitkan dengan janji awal Presiden Jokowi yang katanya mau mengerem laju impor.
Seandainya memang benar kita sudah bisa menghasilkan jagung sedemikian banyaknya sampai bisa diekspor, harusnya Mentan tidak perlu repot-repot impor. Sampai mengorbankan reputasi Jokowi. Karena akan aneh juga bila kita membangga-banggakan ekspor, sedangkan setelahnya kita tetap harus impor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H