Lihat ke Halaman Asli

Impor Pangan Akibat Alih Fungsi Lahan

Diperbarui: 21 Januari 2019   17:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Trubus.id)


Tidak selamanya kubu beda haluan politik itu saling berseberangan. Kondisi itu tampak pada efek pasca debat calon presiden pekan lalu. Baik kubu pendukung calon presiden petahana, Joko Widodo, maupun kubu pendukung calon presiden penantang, Prabowo Subianto, sama-sama menyoroti kinerja pertanian kita yang kedodoran sehingga harus impor produk pertanian.

Kubu pendukung Joko Widodo yang diwakili oleh Johnny G. Platte asal partai Nasdem berpendapat bahwa impor pangan saat ini terjadi karena konversi lahan pertanian yang mencapai 30 persen.

Di kubu penantang, Mardani Ali Sera dari Partai Keadilan Sejahtera menilai bahwa kinerja sektor pertanian masih memprihatinkan. Menurut dia, program swasembada pangan belum terwujud, bahkan luas lahan pertanian terus mengalami penyusutan. Sorotan tambahan dari kubu oposisi adalah gagalnya target swasembada pangan, buruknya manajemen penyaluran pupuk bersubsidi, dan kesejahteraan petani belum terangkat sepenuhnya.

Merdeka.com

Fenomena unisono koalisi dan oposisi terkait kinerja pertanian ini patut diapresiasi. Karena kedua belah pihak sama-sama terlihat concern terhadap sektor pertanian kita. Terlepas dari apa pun latar belakang keberpihakan politik mereka masing-masing.

Konversi atau penyusutan lahan ini dianggap sebagai biang kerok yang diam-diam menggerus produktivitas sektor pertanian kita. Dalam jangka panjang, bila produksi pangan terus berkurang dan kebutuhan naik maka harga produk pangan di pasaran akan tinggi.

alih fungsi lahan (meme olah pribadi)

Penyusutan lahan pertanian memang sudah jadi ancaman nyata di negara ini. Pengumuman Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terkait luas lahan pertanian kemarin memang tidak enak didengar. Pada 2018 kemarin, BPN menyatakan bahwa terjadi pengurangan 7,1 juta hektare lahan pertanian. Ngerinya lagi, laju pengurangan itu tidak akan melambat, melainkan akan terus bertambah. Diperkirakan, rata-rata terjadi pengurangan luas lahan pangan sebesar 120 hektare per tahun.

Presiden Joko Widodo juga sudah berupaya mengerem dan melawan alih fungsi lahan ini. Tahun 2015 lalu, ia memerintahkan Kementerian Pertanian (Kementan) untuk menggiatkan program cetak sawah. Sayangnya, hingga akhir tahun 2017 sawah yang tercetak baru sebesar 160 ribu hektare. Masih sangat jauh dibandingkan dengan target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015---2019 sebesar 1 juta hektare di luar pulau Jawa.

Ketidakmampuan Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman dalam program cetak sawah ini, kemungkinan besar, menjadi penyebab utama dari membesarnya impor berbagai komoditas pangan belakangan ini. Seperti yang baru-baru ini terkabarkan, bahwa Mentan Amran mengajukan lagi ijin impor jagung sebesar 30 ribu ton untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak.

Tanpa ada kemajuan signifikan dari program cetak sawah Kementerian Pertanian, sepertinya kita akan terus tersandera impor pangan. Bila kemarin Kementan sudah mengajukan impor jagung, bukan tidak mungkin ke depannya mereka akan mengajukan impor komoditas pertanian lainnya.

ga sanggup ya nganggur (meme olah pribadi)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline