Lihat ke Halaman Asli

Akbar Sanjaya Rambe

Psikologi Dan Teknologi Informasi

Pedofilia, Kelainan atau Kejahatan?

Diperbarui: 20 April 2024   11:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini media sosial dikejutkan dengan adanya grup di salah satu medsos yang berisi para pelaku pedofilia. Pelaku tersebut saling berkomunikasi, berkomentar, dan mengirim gambar korban yang biasa mereka sebut dengan loli. Miris sekali melihatnya, pelaku melakukan kejahatan seks pada anak di bawah umur bahkan sudah lebih dari satu atau dua kali pada anak yang sama.

Kemarin saya mengikuti diskusi di kampus mengenai pedofilia. Prof Koentjoro mengawalinya dengan sebuah pertanyaan, "Kita menginterpretasi bahwa hal tersebut pedofilia atau bukan, dari pandangan kita atau menurut perspektif si pelaku?"

Kebanyakan para peserta diskusi menjawab bahwa interpretasi itu berdasarkan perspektif atau pandangan kita, bukan si pelaku. Padahal dalam menilai sebuah perilaku tersebut pedofil atau bukan, dinilai dari si pelaku, mengapa orang tersebut melakukan hal itu.

Terdapat beberapa jenis pedofilia, dua diantaranya adalah pedofilia yang homoseks dan heteroseks. Pada jenis yang pertama, yakni pedofilia homoseks, pelaku dan korban memiliki jenis kelamin yang sama. Korban biasanya akan menjadi predator di masa yang akan datang. Pedofilia heteroseks dilakukan oleh pelaku yang berbeda jenis kelamin dengan korban, biasanya pelakunya adalah laki-laki dan korbannya merupakan anak perempuan. Korban juga akan berpotensi untuk menjadi Pekerja Seks Komersil di masa yang akan datang.

Pelaku pedofilia pada dasarnya merupakan seorang yang tidak percaya diri, minder, sehingga menjadikan anak kecil yang notabene dianggap tidak berdaya dan tidak berani menolak. Ini juga disebabkan karena anak tersebut tidak tahu apa yang sedang dialaminya. Pelaku juga biasanya merupakan orang terdekat korban.

Kejahatan atau Kelainan?

Seperti yang telah disebutkan diawal tulisan bahwa dalam menginterpretasikan pedofilia, kita harus melihat motif pelaku. Disebut kelainan jika memang ada dorongan dari dalam diri pelaku yang tidak bisa dikontrol (sex drive/desire), yang meskipun sudah dicoba dikontrol oleh pelaku, hal ini sangat sulit dilakukan. Ini pernah terjadi pada kasus X yang melakukan sodomi kepada anak kecil. Ketika ia ditangkap oleh polisi, ia merasa bersyukur karena dengan begitu ia tidak melakukan hal tersebut lagi kepada anak-anak lainnya, korban tidak bertambah, karena menurutnya ia tidak bisa mengontrol dirinya. Sedangkan disebut kejahatan ketika pelaku melakukannya dengan sengaja karena pelaku tidak bisa melampiaskannya kepada orang yang sudah matang keberfungsian seksualnya.

Upaya Pencegahan

Salah satu faktor yang menyebabkan pedofilia ini marak terjadi adalah karena careless parenting. Orang tua sibuk dengan urusan dan pekerjaannya, lembaga keluarga tidak berfungsi sehingga tidak ada pengawasan terhadap anak. Padahal orang tua adalah benteng utama bagi anak. Selain itu, pendidikan seks sejak dini perlu dilakukan agar anak mengerti sejak kecil mengenai seks. Karena hal tersebut bukan merupakan hal yang tabu lagi. Pada usia 2 tahun sebenarnya anak sudah bisa dikenalkan mengenai jenis kelamin. Agar anak aware akan identitasnya dan mengerti bahwa ada jenis kelamin lainnya. Anak juga dapat dikenalkan bagian-bagian tubuh yang harus dilindungi dari sentuhan orang lain dan dapat membedakan sentuhan aman dan tidak aman. Dengan ini, anak akan mengetahui bahwa ada sesuatu yang salah ketika dia mengalaminya dan berani melaporkan kepada orang tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline