Lihat ke Halaman Asli

Travelogue Bromo - Yadnya Kasada

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13960035771727737593

[caption id="attachment_329049" align="aligncenter" width="390" caption=""][/caption]


Liminoxku sudah menunjukkan pukul 12 tepat tengah malam. Dingin menusuk tulang di Wonokitri ini, tapi demi mengikuti sebuah prosesi yang selama ini cuma dapat dengar dari orang-orang…dingin?…baaahhh…siapa takut…hheeee…


So, sedikit cerita tentang Upacara Yadnya Kasada (karena sumber ceritaku adalah masyarakat desa Wonokitri, Penanjakan, kec. Tosari, Pasuruan, jadi ejaan Kasada mengikuti ejaan setempat yang menggunakan “a” dan bukan “o”).


Upacara Kasada dilakukan oleh masyarakat Tengger yang berdiam dikawasan gugusan daerah pegunungan yang menjulang antara 1700-2000 m di atas permukaan laut. Daerah ini merupakan desa-desa di lembah perbukitan yang mengitari Gunung Bromo sebagai pusatnya. Dalam masyarakat Tengger adat merupakan bagian kehidupan yang penting. Adat itu terpelihara dengan baik karena berfungsi sebagai pengatur kehidupan masyarakat dan kepercayaannya. Banyak dongeng di kalangan mereka yang bercerita tentang asal-usul berbagai upacara dan gunung-gunung yang tersebar di sekitar Gunung Bromo. Adat dan religi menjadi bagian kehidupan masyarakat Tengger dari masa ke masa.


Asal muasal suku Tengger sendiri (seperti yang dibacakan oleh Pandita saat upacara Kasada di Pura Utama). Tersebutlah sepasang suami istri bernama Roro Anteng dan Joko Seger yang mendambakan keturunan. Nama keduanya (Roro Anteng diambil Teng, dan Joko Seger diambil Ger) menjadi nama suku ini, Tengger. Menurut legenda, upacara Kasada bermula dari Roro Anteng dan Joko Seger yang sangat mendambakan anak. Mereka sudah lama berkeluarga, namun belum juga dikaruniai seorang anak pun. Pada suatu malam ketika Joko Seger sedang bersamadi memohon berkah kepada sang dewata, ia melihat suatu cahaya yang menyala di kejauhan. Joko Seger segera mengajak isterinya mendatangi cahaya tersebut karena mengira tentulah cahaya tersebut berasal dari dewa-dewa yang turun ke bumi. Setelah sampai di tempat cahaya tersebut, ternyata cahaya itu berasal dari cahaya kawah Gunung Bromo. Walaupun agak kecewa karena tidak bertemu dengan dewa-dewa, namun sepasang suami isteri tersebut bersumpah di depan kawah Gunung Beromo bahwa jika kelang sang dewata atau Hong Pukulon mengabulkan permohonan mereka dan mereka dikaruniai anak sebanyak 25 orang dan hidup semua, maka anak yang bungsu akan dikorbankannya ke dalam kawah Gunung Bromo tersebut. Sumpah tersebut mereka maksudkan sebagai ungkapan rasa terima kasih mereka berdua. Ternyata beberapa bulan kemudian dewata betul-betul mengabulkan permohonan mereka, karena tampak gejala-gejala bahwa Roro Anteng akan segera mempunyai putera. Akhirnya terkabullah permohonan mereka, dikaruniai anak sebanyak 25 orang yang sehat-sehat semua. Anak-anak Joko Seger dan Roro Anteng sudah hampir menjelang dewasa, namun Joko Seger atau Roro Anteng lupa akan janjinya dahulu, yaitu mengorbankan puteranya yang bungsu.


Pada suatu saat, terjadi angin kencang disertai pijaran cahaya dari kawah Bromo yang merusak seluruh kampung sampai ke kawasan Penanjakan. Kejadian tersebut membawa serta hilangnya si bungsu, Raden Kasuma. Bersedihlah para saudara dan ayah bundanya. Namun seketika terdengar suara dari dalam kawah Bromo yang mengatakan kepada saudara-saudara dan ayah bunda, bahwa Kasuma dalam keadaan senang dan sudah berbahagia, Kasuma meminta para saudaranya untuk melakukan upacara syukuran setiap selesai panen untuk menghormati pengorbanannya. Sejak itulah, upacara Kasada dilakukan setiap bulan purnama hari ke 16. atau tepatnya purnama sidi.


Pada hari Kesada upacara yang paling penting, yaitu upacara korban dan upacara pengujian dan pelantikan kepala adat Dukun. Berlangsung pada pukul 3 dinihari. Para dukun muda diuji oleh Kepala Dukun Pusat (Ketua Dukun) yang berkedudukan di Ngadisari. Korban-korban yang dilabuh ke kawah Bromo antara lain adalah ternak seperti ayam dan kambing. Di samping itu ada juga yang melabuh uang dan hasil tanam. Yang paling banyak dilabuhkan adalah bibit kentang karena kentang adalah tanaman yang banyak terdapat di Tengger.


Sekitar pukul 4 pagi, dukun senior yang dibantu oleh dukun-dukun dari seluruh Kabupaten Probolinggo, Lumajang, Malang dan Pasuruan mulai membakar dupa dan menguyubkan akan melaksanakan upacara Kesada. Setelah mengheningkan cipta yang ditujukan kepada Hyang Maha Agung, para arwah serta dewa-dewa. Prosesi mengiringi semua bahan-bahan yang akan dilabuhkan ke kawah Bromo di mulai pukul 04.30, pendakian ke puncah Bromo di iringi dengan tetabuhan dan kidung para pengiring. Labuhan dilakukan setiba di puncak Bromo tepat saat matahari mulai bersinar sekitar pukul 05.25 pagi, semua benda-benda korban dilabuh ke dalam kawah Gunung Bromo.


Selain orang-orang yang datang untuk berkorban ke Gunung Bromo, banyak juga yang datang ke sana untuk melakukan marit, yaitu mengumpulkan barang-barang yang dilabuh untuk mereka manfaatkan atau dibawa pulang. Jika setelah barang-barang korban dilabuh, para pemarit berlarian menuruni kawah untuk mengambil barang labuhan…aksi yang sangat menakutkan sebenarnya, mengingat terjal dan berbahayanya kawah Bromo itu. Hal ini memang tidak dilarang oleh ketua adat. Bahkan ada anggapan bahwa bibit kentang yang diambil dari lahuban akan tumbuh lebih subur daripada bibit biasa (TSRT).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline