Aku berdesakan dalam antrean yang sudah tidak berwujud. Booth-booth perusahaan dalam Job Fair dipenuhi ratusan pencari kerja sepertiku. Suara MC memekakkan telinga. Lebih baik mereka diam saja, rasanya itu jauh lebih membantu dibanding meneriakkan motivasi omong kosong yang tidak kami perlukan.
Amplop coklat dalam dekapanku semakin lusuh. Masih ada lima amplop lagi yang akan kuberikan ke perusahaan mana saja yang sekiranya mau menerimaku. Ya, kalian tidak salah baca. Aku adalah fresh graduate yang sudah setengah tahun menganggur. Dari semua perusahaan incaranku, tak ada satupun yang memanggilku untuk wawancara. Ini bukan kali pertama aku mengikuti Job Fair, mungkin lebih dari sepuluh kali. Belum lagi ratusan email dan lamaran yang aku kirimkan melalui platform pencari kerja. Hasilnya nihil. Tak ada panggilan, tak ada jawaban. Maka, aku tak terlalu peduli dengan perusahaan yang akan mengundangku wawancara. Selama mereka mau menerimaku, aku rela bekerja untuk mereka. Setidaknya, untuk pengalaman pertamaku.
Peluh membasahi tubuhku, aroma keringat bercampur parfum menguar. Sudah hampir dua jam aku berkeliling, mengantre dari satu booth ke booth yang lain. Tenagaku menipis, lambungku perih. Tanpa perlu melihat jam, aku tahu sudah waktunya makan. Aku coba menahan, tapi perutku semakin melilit. Menyerah, aku putuskan keluar gedung mencari kantin terdekat.
Untunglah aku menemukan kantin ramah kantong. Sepertinya ini kantin karyawan. Ah, betapa aku tak sabar menyandang status itu. Dulu aku berpikir mencari pekerjaan mudah. Apalagi aku berasal dari kampus yang meski swasta tapi lumayan reputasinya. Jurusanku ilmu komputer yang katanya punya banyak lowongan pekerjaan. Tak hanya itu, dengan IPK 3,3 seharusnya mudah saja bagiku mendapatkan pekerjaan. Tapi, kenyataannya sampai sekarang aku masih menganggur.
Aku mengunyah perlahan nasi dengan lauk sayur sop, telur, dan tempe. Kuperhatikan sekitar, mulai banyak karyawan berdatangan untuk makan siang. Kapan aku bisa seperti mereka? Mengenakan lanyard merk ternama, memakai sepatu sneakers atau higheels cantik, membawa tumblr dengan harga selangit, berbagi keluh kesah dengan rekan kerja membahas pekerjaan dan bos yang menyebalkan, menikmati makan siang sembari tenggelam dalam canda untuk melepas penat. Aku menghela napas pelan, jalanku masih panjang.
Usahaku mencari pekerjaan tak tanggung-tanggung. Segala upaya aku lakukan, bahkan aku mencoba peruntungan untuk mencari pekerjaan freelance yang ada di internet. Meski tak selalu ada, tapi aku mendapatkan sedikit pemasukan dari pekerjaan freelanceku sebagai desainer. Jangan berpikir terlalu jauh, desainku biasa saja. Klienku belum banyak. Satu bulan belum tentu ada pesanan. Awalnya aku menikmati hal ini, bekerja dari rumah, mengatur waktu sesukaku, melakukan hal-hal yang tak sempat aku lakukan ketika kuliah. Namun, ketika satu per satu temanku sudah mulai bekerja, aku frustasi.
Dari sekian lamaran yang aku kirimkan, aku belum pernah mendapatkan panggilan wawancara. Kepercayaan diriku luntur. Apakah aku memang tak mampu? Kuakui kemampuanku rata-rata. Banyak desainer yang lebih bagus, banyak mahasiswa ilmu komputer sepertiku yang lebih jago, sedangkan aku biasa saja. Belum lagi pandangan keluargaku yang menganggap aku terlalu santai dan kurang berusaha sehingga tak kunjung mendapat pekerjaan. Begitu banyak suara yang meredam rasa optimis dalam benakku.
Kadang aku berpikir, apa aku menikah saja? Tapi dengan siapa? Siapa laki-laki kaya raya yang mau menikahi gadis dengan wajah biasa, prestasi rata-rata, dan ya... siapa yang mau? Jika aku seorang pria, akupun akan berpikir dua kali.
Bunyi telepon membuyarkan lamunanku. Mama. Dengan enggan aku menjawab telepon.
"Karin, bagaimana tawaran teman Ayah kemarin? Terima saja, ya? Kamu tidak perlu khawatirkan uangnya," ujar Mama tak sabar.
"Ma, Karin bisa. Kasih Karin waktu, Ma. Nanti kita bicara di rumah, Karin masih harus keliling lagi." Aku mendengus kesal.
Mama selalu tak sabar dan tak mau kalah. Hal ini berawal ketika Dewi, anak teman Mama yang merupakan teman kuliahku, diterima menjadi PPPK disalah satu kantor pemerintah daerah. Mama seperti kebakaran jenggot. Tak hanya sekali Mama menawarkan menjadi honorer dengan membayar sejumlah uang. Aku tak pernah suka dengan cara seperti ini.
Bekerja bagiku tak hanya soal status, tapi lebih dari itu. Aku tak mau bekerja karena belas kasihan orang, apalagi harus melakukan tindakan yang tidak sesuai prinsipku. Bagiku, bekerja tak hanya memberiku gaji tapi juga ruang berekspresi. Jika tidak bisa keduanya, setidaknya salah satu. Apa jadinya jika aku harus membayar demi mendapat pekerjaan? Apakah gajiku bisa mengembalikan uang yang Mama keluarkan agar aku bisa bekerja?
Aku menatap amplop coklat di depanku. Dadaku berkecamuk, tak sedikit teman-temanku mudah mendapat pekerjaan karena peran orang tuanya. Jalur orang dalam. Apalah dayaku yang tak punya orang dalam. Aku harus mengarahkan kemampuanku yang biasa ini.
Matahari terik tepat di atas kepala, semangatku luntur bersama peluh yang tak henti mengucur. Langkah kakiku gontai, tenagaku mulai habis. Antrean mengular sama sekali tak surut. Harapanku menguap, mataku mendidih.
Baru saja aku ingin menyerah, tiba-tiba satu e-mail masuk.
Panggilan Wawancara.
Dari perusahaan yang akupun lupa kapan pernah mengirimkan lamaran.
Tak lama, notifikasi pada website freelanceku berbunyi. Sebuah pesanan dari klien luar negeri dengan penawaran lumayan.
Aku mengusap air mataku yang tak bisa dibendung. Masih ada lima amplop lagi. Dan aku akan menjemput takdirku sendiri.