Lihat ke Halaman Asli

Musibah dan Politik

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tsunami, gempa bumi, letusan gunung api, dan banjir, adalah beragam bencana yang pernah (dan masih) mampir dalam kehidupan bangsa kita. Jika dikaitkan dengan tegaknya suatu kekuasaan politik, apakah makna di baliknya?

Ada beragam tafsir yang bisa dikonstruksi setiap kali bencana hadir dalam kehidupan kita. Kaum pesimis mengatakan bahwa itu merupakan bentuk kutukan atau kemarahan Tuhan atas perilaku manusia di bumi. Sedangkan kaum optimis justru melihatnya sebagai wujud dari sebagian kasih-sayang Tuhan kepada manusianya.Oleh karena itu, teguran dianggap sebagai peringatan untuk meluruskan kembali bahwa wacana yang selama ini berkembang di muka bumi tengah melenceng sehingga perlu diluruskan kembali.

Saya sendiri, jika ditanya sikap ini, lebih melihat sebagai yang kedua. Alasannya sebagai berikut:

1. Mungkin kita banyak hidup menyimpang dari ketentuannya. Misalnya tidak lagi mengasah empati kepada masyarakat sekitar, sehingga Tuhan mengingatkan dengan peristiwa yang lebih besar.

Data menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia itu "doyan" berziarah ke tempat suci, makam keramat, dll. Coba saja lihat, daftar antrian hajji di Indonesia. Ada yang sampai di atas 10 tahun. Terjadinya lonjakan peminat ini dikarenankan pemerintah tidak membatasi mereka yang mau haji. Coba diatur bahwa yang naik hajji itu kalau sudah 25 tahun ke atas, atau sudah menikah, dan cukup hanya sekali.

Jika ada yang berniat dan secara materi mampu mengulang, lebih baik disedekahkan untuk: membayar ongkos haji orang lain, atau untuk menolong tetangganya yang tidak memiliki sandang dan pangan.

2. Banyak di antara kita yang "menikmati" kecam-mengecam, maki memaki, hujat menghujat, serta tindakan lain yang tidak produktif. Tentu saja ini juga harus ditegur. Sebab lebih positif singsingkan baju saling bahu membahu, membantu, turun langsung, ketimbang sekedar menyalahkan orang.

Dalam sebuah tulisannya, Ahmad Tohari pernah menulis begini (mohon maaf jika kurang sama persisi):

Suatu kali Tuhan datang ke rumah seorang hambanya. Lalu Tuhan berkata,

"Aku sakit, mengapa kalian tidak menengok-Ku?"

"Tuhan, Engkau pemilik kesembuhan. Mengapa Engkau bisa tetap sakit?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline