Mitigasi, sebuah kata yang sering saya dengar dari kawan saya, Ia seorang penulis dan juga ketua pembina yayasan ternama di Kabupaten Sukabumi. Ia sering memberikan nasehat pada saya bahwa menghadapi segala sesuatu harus ada mitigasinya.
Dengan mitigasi menurutnya kita lebih mengenali segala resiko yang mungkin terjadi dan yang paling penting adalah bagaimana upaya penyelamatan dari resiko yang mungkin akan menimpa kita.
Belum lama tragedi gempa Cianjur yang menelan korban lebih dari 300 orang, ribuan orang luka-luka dan puluhan orang lagi masih belum diketahui keberadaannya.
Tak seorangpun menyangka atas kejadian ini, semoga yang meninggal dalam keadaan husnul khotimah, yang terluka segera disembuhkan, keluarga yang ditinggalkannya diberikan kesabaran dan harta benda yang hilang bisa tergantikan dengan yang lebih baik lagi, aamiin.
Hari Jum’at tiga hari sebelum kejadian gempa Cianjur, siswa di sekolah saya telah diberikan penyuluhan mitigasi gempa oleh tim BNPB, upaya itu diberikan pada siswa dalam penyelamatan kalau terjadi gempa bumi, siswa diberikan arahan yang paling utama adalah jangan panik, keluar dari dalam gedung menuju tempat yang aman, dan kalau kondisi tidak memungkinkan sebaiknya berlindung di tempat-tempat yang kira-kira aman seperti di bawah meja.
Pada hari senin tanggal 21 November 2022 saya sedang mengajar parktikum kimia di labolatorium, sekitar pukul 13.21 WIB terjadi guncanga gempa yang cukup besar, sebagai upaya mitigasi spontan saya minta siswa untuk keluar ruangan dengan tenang.
Namun dengan terasa besarnya gempa tersebut siswa panik dan berusaha keluar ruangan secepat mungkin, dan yang terjadi adalah beberapa orang terjatuh karena kakinya tersangkut kursi dan terdorong oleh temannya.
Upaya mitigasi tidak cukup dengan memberikan pengetahuan pada siswa di sekolah saja, upaya lainnya pun harus diperhatikan, sebagai contoh bagaimana pemerintah memberikan standar ruang kelas pada sekolah di daerah yang rawan gempa.
Daerah Sukabumi dan Cianjur adalah daerah yang sangat rentan terhadap gempa, namun untuk standar ruangan anti gempa, belum tersentuh oleh dinas terkait.
Begitupun dengan bangunan-bangunan rumah masyarakat tidak didisain untuk anti gempa, sehingga wajar ketika gempa dangkal dengan kekuatan 5,6 itu terjadi banyak menelan korban yang banyak dikalangan masyarakat.
Hal kecil lainnya misalkan upaya mitigasi dengan mengharuskan setiap ruang kelas memiliki 2 pintu depan dan belakang, karena dengan satu pintu, ketika siswa cepat-cepat keluar akan betumpuk pada satu pintu dan memungkinkan terjadi terjatuh dan terinjak oleh temannya.