Waktu itu aku berumur tiga tahun pada malam saat seluruh anggota keluargaku kecuali ibu, sedang menonton tayangan televisi di ruang keluarga. Seingatku kami sedang melihat kereta luncur di televisi sedangkan ibuku masih memasak makan malam di dapur. Meski di meja makan sudah tersedia nasi dan beberapa lauk, ibu masih menyiapkan sesuatu di dalam dapur. Meja makan kami terletak di ujung sebelah kiri ruang keluarga. Lalu berjarak tiga langkah orang dewasa dari meja makan kita akan langsung melewati kongliong yang di atasnya dipasang lampu neon panjang sebagai penerang utama ruang keluarga dan memasuki area dapur. Dibilang meja makan juga sepertinya kurang pas karena tidak ada bangku-bangku yang mengitari meja di situ. Meja itu hanya sebagai tempat menaruh piring-piring bersih yang ditumpuk, sendok-sendok dan garpu-garpu yang ditaruh di dalam tempatnya, penanak nasi yang harus ditempatkan di dekat colokan listrik -makanya meja itu berada di ujung ruangan- serta piring-piring yang berisi lauk pauk. Kami akan menggelar karpet yang berukuran lebar di tengah-tengah ruang keluarga, lalu duduk bersila melingkar saling berhadapan dan diisi dengan makanan di tengah-tengah kami. Aku menyebutnya sebagai lingkaran suci. Semua orang akan mulai mengambil makan kecuali ayah yang makanannya diambilkan ibu, juga aku yang saat itu masih berusia tiga tahun. Kebiasaan ini perlahan hilang -sekarang kami biasanya akan mengambil sendiri makanan di meja makan, lalu pergi ke tempat dimanapun yang kami mau untuk makan tanpa harus menunggu siapapun untuk makan bersama-.
Ibu keluar dari dapur dengan membawa panci yang dari tempatku duduk di tengah saudaraku yang lain, aku bisa melihat itu mengeluarkan asap di bawah sinar lampu neon. Aku sudah paham pasti ibu habis memasak sayur. Aku ingat ayah pernah bercerita bahwa dulu dalam keluarga ayah, setiap makan harus ada kuahnya, sampai-sampai jika tidak ada kuah maka seluruh orang yang hendak makan harus menangis dulu supaya air matanya tumpah ke piring dan menjadi kuah untuk dimakan bersama nasi. Setelah aku cukup besar aku paham bahwa itu hanya akal-akalan ayahku saja yang suka berbicara hiperbolis supaya anak-anaknya mau makan sayur. Makanya ibu pun jadi ikut-ikutan selalu menghidangkan setidaknya sesuatu yang berkuah sebagai pelengkap hidangan. Setelah dirasa sudah selesai melakukan pekerjaannya, ibu menghampiri kami lalu bergabung menonton tayangan televisi.
Aku beranjak dari tempatku lalu menghampiri meja makan. Entah apa yang waktu itu aku pikirkan, tapi kalian bisa maklum kan kalau anak kecil itu sama sekali tidak memikirkan apapun dalam tindakannya. Aku bisa sebut bahwa anak kecil melakukan tindakan konyol, aneh, gila, gak masuk akal, atau apapun yang bisa kalian sebut tanpa ada habisnya, didasari dengan ‘bosan’. Enggak. Dibilang bosan juga gak pas. Waktu itu aku sama sekali tidak bosan. Ingat kan kami sedang melihat kereta luncur? Kereta luncur loh. Sampai sekarang menginjak kepala dua juga aku belum pernah lihat langsung apalagi naik wahana itu. Bagi anak kecil berumur tiga tahun seharusnya perhatian akan kereta luncur itu tidak bisa diganggu dengan apapun, apalagi cuma dengan sayur bening. Ya, sayur bening bayam dengan potongan biji-biji jagung yang dilepas dari tongkolnya. Itu adalah pemandangan yang aku lihat dari dalam panci di atas meja makan. Aku mungkin terpesona dengan warna kuah kuningnya yang mengkilap, atau dari bulir-bulir jagung yang seolah seperti mainan terperangkap di dalam daun-daun bayam yang layu. Sambil menjinjitkan kaki kecilku, aku meraih gagang panci. Aku tak terlalu ingat apakah aku berniat menurunkan panci itu untuk membantu kakak-kakakku yang nantinya akan menurunkan makanan dari meja makan ke area lingkaran suci, atau aku memang sangat lapar sampai ingin menenggak habis semua kuah dan jagung itu. Pokoknya tanganku kepanasan dan akhirnya menjatuhkan panci itu ke tubuhku sendiri. ‘Sedang mandi air panas’, mungkin itu yang terlintas di pikiran siapapun yang pertama kali melihatku. Apa aku menangis atau berteriak aku sungguh tak ingat, yang aku ingat aku tak melakukan keduanya. Seluruh anggota keluargaku langsung menghampiri dan mengurusku, meski aku juga tak ingat pertolongan pertama macam apa yang mereka lakukan. Kasihan ayahku, malam ini akan makan tanpa kuah. Atau malah kami akan menangis sambil menengadahkan piring supaya bisa makan malam ini. Yang manapun aku merasa bersalah terhadap ibuku.
Cerita ini sudah sangat lama, bekas lukanya juga hanya bertahan sampai aku lulus sekolah dasar. Bekas luka bakar di perutku terletak di atas pusar yang melintang disertai garis-garis lurus ke atas dan ke bawah. Mungkin bisa dibayangkan seperti tubuh kelabang tapi aku tak mau sebut begitu. Tentu saja corak alami di tubuhku itu lebih indah dari serangga. Bisa dibilang, setelah bekas luka itu hilang aku hampir lupa sepenuhnya dengan kejadian itu. Aku tanya kedua orang tua dan saudara-saudariku pun mereka sama sekali tidak ingat -mungkin juga karena orang tuaku sudah berumur dan saudara-saudariku juga punya kisahnya sendiri-. Bahkan seharusnya aku melupakan tayangan apa yang kami lihat waktu itu. Tapi aku masih mengingatnya. Sebab malam itu aku melihat kereta luncur sambil menahan sakit di perutku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H