Lihat ke Halaman Asli

Industri Telekomunikasi Indonesia Masih Butuh Kepastian Hukum

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat kah Anda dengan kasus dugaan penyalahgunaan jaringan yang dituduhkan kepada Indosat Mega Media (IM2) beserta mantan Dirutnya, Indar Atmanto?

Kasus ini kembali menyita perhatian saya dalam beberapa minggu terakhir. Setelah saya menelusuri beberapa pemberitaan di media online, salah satunya dari Gatra, disebutkan bahwa Kejagung akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) jika MA menerima PK dari Indar Atmanto. (sumber: http://www.gatra.com/hukum-1/147270-kejagung-ajukan-pk-jika-ma-terima-pk-koruptor-indosat.html).

Seperti diketahui, Indar Atmanto sebagai mantan Dirut IM2 divonis bersalah oleh Kejaksaan Agung akibat dugaan korupsi penyalahgunaan jaringan 2.1 GHz/3G Indosat. Indar sendiri divonis hukuman 8 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Tentu hal ini menggelitik saya, karena kasus ini masih berlanjut panjang hingga kini. Proses yang begitu panjang ini membuat saya bertanya, mengapa kasus IM2 belum tuntas hingga kini? Apa yang sebenarnya menjadi titik persoalan dalam perkara ini?

Indar Atmanto

Indar didakwa menyalahgunakan frekuensi 3G Indosat, sehingga merugikan negara sebesar Rp.1,3 Triliun. Dakwaan ini dibuat berdasarkan versi audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dalam perjalanan proses peradilan, ternyata hasil audit BPKP mengenai kerugian negara tersebut dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, Kejagung sebagai pemutus perkara tidak mengindahkan putusan dari PTUN, yang seharusnya dapat menjadi referensi ahli untuk memutuskan perkara. (sumber: http://www.beritasatu.com/hukum/222127-kasus-indosatim2-ma-putuskan-laporan-bpkp-tidak-sah-indar-bakal-bebas.html)

Bentuk kerjasama ini seharusnya sah secara hukum antara IM2 sebagai penyewa jaringan (Internet Service Provider), dengan PT Indosat sebagai penyedia frekuensi. Dalam surat kontrak tidak tertera sama sekali kata-kata frekuensi atau pengguanaan frekuensi Indosat oleh IM2. Perjanjian kerjasama antara Indosat dan IM2 menyebutkan bahwa IM2 membayar bandwidth dari Indosat, dengan kata lain IM2 menyewa jaringan internet kepada Indosat sebagai operator.

Di sini sangat terlihat jelas, bahwa tidak ada pemahaman soal teknis terkait teknologi informasi dan telekomunikasi oleh pihak Kejagung. Akibatnya, terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan adanya kekeliruan dalam kasus IM2 ini.

Masalah teknis inilah yang menjadi perhatian Onno W. Purbo. Beliau adalah adalah seorang tokoh dan pakar di bidang teknologi informasi asal Indonesia (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/OnnoW.Purbo). Onno berpendapat, bukti dan keterangan yang diajukan oleh Kejagung sebenarnya secara teknis tidak berhasil membuktikan bahwa IM2 mengoperasikan BTS & frekuensi selular tanpa membayar pajak.

Onno W. Purbo

Memang jika dicermati lebih lanjut, pihak Kejaksaan sepertinya keliru membedakan jaringan dan frekuensi. Dalam kasus ini, IM2 diibaratkan oleh Kejagung sebagai operator frekuensi internet. Padahal, IM2 adalah penyedia jasa internet (ISP), bukanlah operator (Indosat).

Pembuktian argumentasi ini sangat sederhana, Anda dapat buktikan sendiri sebagai pengguna ponsel.

Coba Anda scan jaringan selular yang ada di seluruh Indonesia, Anda tidak akan menemukan jaringan selular bernama IM2. Jaringan selular yang ada antara lain: INDOSAT, Telkomsel, XL, dll. Hal ini menunjukkan bahwa IM2 sama sekali tidak pernah mengoperasikan BTS/frekuensi selul

Jadi, tuduhan bahwa IM2 mengoperasikan BTS / frekuensi selular tanpa membayar pajak, secara teknis TIDAK mempunyai dasar sama sekali. Dari penjelasan serta argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa IM2 sebagai penyewa jaringan internet tidak berhak disalahkan, karena statusnya sebagai penyewa jaringan, dan tidak menggunakan BTS / Frekuensi dari Indosat.

Melihat kejanggalan yang tadi disebutkan, sudah seharusnya Kejagung lebih teliti dalam mengkaji suatu perkara. Perkembangan dunia telekomunikasi di Indonesia sedang marak-maraknya. Bahkan ranah ini memiliki peluang investasi yang cukup bagus. Jika kesalahpahaman penerapan hukum ini tidak segera dibenahi, bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan kepercayaan investor di bidang telekomunikasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline