Lihat ke dalam hati kita masing-masing di saat ini, adakah di antara kita yang benar-benar Indonesia? Masa-masa kampanye pemilihan presiden sekarang ini merupakan kesempatan baik bagi kita untuk menjawab pertanyaan itu.
Mari mencermati berita-berita di media massa, tayangan-tayangan tivi, debat di dunia maya, semua itu bisa dijadikan cermin besar yang memantulkan bayangan laku kita dalam bernegara. Sayangnya, pantulan dalam cermin besar itu memperlihatkan, kita belum Indonesia. Kita masih Solo, Makassar, Palembang, Aceh, atau Papua saja. Lihatlah alasan dukungan kita atas calon presiden yang kita pilih. Hampir semua karena alasan kedekatan pribadi atau kesamaan asal daerah. Hanya segelintir lainnya yang benar- benar memilih karena sosok presiden itu sendiri, juga harapan pada program yang ditawarkan untuk membawa negara ini melangkah lebih maju.
Tidak, apapun yang dilakukan oleh calon yang tidak kita dukung, tolaklah, meski itu memberi harapan Indonesia bisa bergerak maju. Mari telisik kekurangannya biar kita punya alasan untuk menjatuhkannya hingga terjerembab tanpa ampun dan kehilangan harga diri.
Maka mari mencari jejak Jokowi hingga ke bantaran sungai tempat yang diakuinya sebagai tempat bermukim masa kecil, lalu kita bersorak ketika didapati ternyata itu tak benar. Jokowi kata pencari jejak itu berasal dari keluarga mampu, pengrajin mebel dan selalu hidup berkecukupan. Baiklah, sekarang kita punya alasan untuk mencibir kebohongannya.
Mari pula mempertanyakan dosa masa lalu Prabowo, karena itulah satu-satunya yang kita miliki untuk menghancurkannya. Kita teriakkan nama-nama orang yang hilang, tak pernah kita sadari kita sedang membangkitkan kembali perih rasa sakit kehilangan yang dialami oleh keluarga mereka yang hilang. Di saat bukan sekarang, perih itu mereka tanggungkan sendiri. Tak ada yang sungguh-sungguh perduli bahwa keluarga yang ditinggal itu telah menanggungkan rasa sedih selama bertahun-tahun.
Kita terus saja memilih fakta terburuk, kalimat terjelek untuk mengejek kedua calon presiden itu. Kita lupa bahwa salah satu dari keduanya sebentar lagi akan memimpin negeri ini. Wajah mereka, adalah wajah Indonesia di masa pemerintahan mereka.
Tetapi ya, kita belum benar-benar Indonesia. Karena jika iya, hitungannya tak lagi menjadi, kalau bukan JK tak ada ruas jalan baru yang dibangun di sepanjang daratan Pulau Sulawesi. Kita orang Solo, apapun yagn terjadi, kita harus memilih Jokowi. Kita Islam, maka harus memilih Hatta Rajasa. Itu harga mati. Seperti itulah kita kini.
Kata Anies Baswedan, jumlah orang pintar di negeri ini sama dengan jumlah penduduk negeri Malaysia. Tapi ke mana gerangan perginya orang-orang itu? Karena yang kulihat sepanjang pekan-pekan ini adalah kita-kita yang selalu bersikukuh membela calon presiden pilihan masing-masing dengan sangat sengit. Bagi pendukung Prabowo, pendukung Jokowi terkadang kehilangan akal sehat. Sebaliknya bagi pendukung Jokowi, pendukung Prabowo lah yang kehilangan akal sehat.
Maka seusai debat calon presiden, kitalah yang berdebat. Pendukung Jokowi akan memperlihatkan semua hal yang bisa diperlihatkan untuk menyatakan betapa mengagumkannya Jokowi dan menelisik semua hal yang keliru dari Prabowo agar ia terlihat begitu tak bermartabat melakukan debat. Sebaliknya juga begitu. Tetapi tidakkah sebaiknya memang kita akui saja bahwa kita semua dalam beberapa pekan ini bahkan sekali pernah membiarkan diri kehilangan akal sehat itu?
Tetapi sudahlah, mari tengok ke depan. Ramadhan di ambang pintu. Ayo menyambutnya dengan hati bening. Seperti anda, saya pun ingin negeri ini menjadi lebih maju. Seperti anda, saya juga tak hendak menyiakan hak suara untuk memilih presiden bagi negeri ini. Pilihan kita mungkin berbeda, dan saya sungguh bisa khilaf dengan menulis sesuatu yang mungkin menyakiti hati anda. Mohon, maafkan saya atas segala salah dan khilaf.
Meski kita berbeda, negeri kita tetap satu. Semoga kesadaran kesatuan itu tetap merekatkan hati kita dalam berbangsa. Mari memilih presiden untuk Indonesia.