Lihat ke Halaman Asli

Adam dan Manusia-Manusia Awal Bukan Manusia Primitif

Diperbarui: 12 Agustus 2015   07:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


(tulisan dua)

Jejak-jejak manusia-manusia terdahulu dengan peradaban yang begitu maju teramat sering membuat kita terperangah kagum.  Pertanyaan-pertanyaan seperti, teknologi apa yang digunakan rakyat Mesir pada dinasti Ahmoses ketika membangun piramida? Mengapa bangunan itu begitu kokoh  dengan sejuta misteri yang bahkan sampai kini belum bisa tersingkap?  Dan kaum Tsamud, umat Nabi Shaleh, darah seni seperti apa yang mengalir dalam tubuh mereka hingga begitu ahli memahat gunung batu  menjadi istana-istana  megah dan indah tempat mereka bermukim? Setelah ribuan tahun, Praimida masih kokoh berdiri, Lembah Petra masih terdiri dari istana megah hasil pahatan tangan-tangan ahli kaum Tsamud.

Waktu terus berjalan. Ribuan tahun terlampaui. Kisah Nabi Adam tak pernah lagi menjadi kisah utuh dalam ingatan kita. Kita membiarkan diri hanya sekedar tahu bahwa Adam tercipta di surga dan menghabiskan ratusan tahun usia awal hidupnya dalam kemegahan surga yang tiada banding. Tetapi kita lupa untuk memahami apa arti semua itu. Ilmuwan-ilmuwan yang lahir belakangan lalu mengambil kesimpuan keliru mengenai asal usul manusia.  Mereka menggambarkan manusia berasal dari makhluk primitif yang berevolusi hingga menjadi makhluk cerdas. Dari mahkluk yang hanya bisa berjalan dengan mengandalkan topangan kaki depan hingga bisa berdiri tegak.

Ketika turun ke bumi, Adam sungguh bukanlah manusia primitif. Dia tidak berasal dari jaman purba. Adam tercipta di surga. Tempat dengan peradaban sangat maju yang hanya dapat diduga-duga kehebatannya dan diangankan oleh manusia masa-masa sesudahnya untuk menjadi penghuninya.  Janji Allah tentang kemudahan dan kenyamanan, juga  kemegahan dan kemewahan  hidup di surga, menjadi harapan setiap manusia yang percaya adanya hari akhir. Ke peradaban super maju itulah kita semua hendak bermukim. Berharap cemas bahwa kita cukup baik dan cukup patuh menjalankan tugas-tugas di bumi dan pada akhirnya terpilih menjadi salah satu penghuninya kelak.

Adam bukanlah makhluk yang bergerak melata di bumi. Dia lelaki terindah yang pernah ada. Diciptakan oleh tangan Tuhan dengan rasa sayang dan dengan keinginan untuk mencipta makhluk sempurna. Konon, Allah menciptakan Adam menyerupai rupaNya. Dan jika tangan Tuhan secara langsung mencipta, adakah keraguan akan kesempurnaannya?

Kisah Nabi Yusuf  yang berparas elok hingga membuat Zulaikha istri majikannya terpesona dan perempuan-perempuan pada jamuan makan yang dirancang Zulaikha tanpa sadar mengiris tangan sendiri ketika Yusuf melintas, adalah kisah separuh keelokan Adam. Nabi Muhammad menjelaskan kepada sahabatnya, bahwa paras elok Nabi Yusuf hanyalah separuh dari keelokan Nabi Adam. Maka bayangkanlah ini, jika keelokan Nabi Yusuf dapat membuat perempuan-perempuan itu mengiris tangan tanpa menyadari perihnya, apa yang mungkin mereka iris andai Nabi Adam yang melintas?

Ketika Adam memohon kepada Allah untuk memberikan pasangan yang sebanding dengannya, terciptalah Hawa. Seperti Adam, Hawa adalah kreasi Tuhan yang sempurna. Maka menjelmalah Hawa menjadi perempuan yang terindah. Dikisahkan, perempuan tercantik yang ada setelah Hawa hanyalah Sarah, istri Nabi Ibrahim. Kecantikan yang membuat Raja Mesir terpesona dan menambakannya. Tapi lalu takluk pada keteguhan Sarah yang terus menjaga hatinya hanya untuk Nabi Ibrahim, suaminya. Kecantikan keduanya, tak bisa lagi didekati oleh perempuan-perempuan sesudahnya.

Empat puluh hari terpisah setelah di turunkan ke bumi, Adam dan Hawa bertemu di Jabal Rahma. Perjalanan Adam mencari Hawa dari puncak bukit Sri Pada di Sri Lanka, tempat ia diturunkan, menuju Arabia tempat Hawa diturunkan, tentulah bukan perjalanan mudah. Tetapi Adam adalah makhluk cerdas. Kecerdasan yang telah teruji bahkan mampu menyaingi pengetahuan malaikat. Dengan itu ia mampu mengatasi semua rintangan yang di hadapinya. Empat puluh hari kemudian Adam bertemu Hawa. Kembali ke Sri Lanka dan bermukim di sana lalu melahirkan keturunan yang akan menghuni, mengisi dan memelihara bumi.

Sudah menjadi ketentuan Allah bahwa setiap keturunan akan memperoleh kemampuan ayah-ibu mereka yang diwariskan lewat garis gen. Kalau demikian, maka kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa peradaban di masa-masa awal kehidupan manusia di muka bumi ini begitu maju meskipun dengan bahan yang seadanya. Pada diri umat-umat terdahulu masih mengalir kental darah Adam. Darah yang di dalamnya mengalir kecerdasan luar biasa, pengetahuan tiada batas dan kerupawanan tiada tara. Kesempurnaan yang berasal dari penciptaan di surga.

Usia Adam yang begitu panjang, 930 tahun, memungkinkan ia melihat turunannya hingga sembilan generasi. Adam bahkan masih hidup pada kurun waktu yang sama dengan Lamekh, ayah Nabi Nuh.  127 tahun setelah kematian Nabi Adam, Nabi Nuh lahir. Mengingat umur manusia yang ketika itu begitu panjang, maka 127 tahun adalah waktu yang singkat. Konon kota tempat Adam bermukim masih dapat dikenali ketika bangsa Israel menyeberangi Sungai Yordan memasuki Kanaan.

Bisa dibayangkan selama ratusan tahun Nabi Adam mengasuh dan membimbing sembilan generasi anak cucunya dengan kesempurnaan ilmu yang ia miliki, ditambah lagi dengan pengalaman hidup dalam kemajuan peradaban surga. Kesemua itu masih dilengkapi dengan bimbingan Allah yang memastikan  kehidupan awal manusia di bumi berjalan seperti yang Ia inginkan.

Tuhan setelah Adam turun ke bumi memang menjadi sesuatu yang gaib, meski mungkin saja di tahun-tahun awal mengenalkan Adam pada kehidupan bumi Allah masih berkomunikasi dengan manusia pertama itu secara langsung maupun lewat  perantaraan malaikat. Lalu dari waktu ke waktu, dari satu kaum ke kaum berikut, Tuhan semakin gaib. Tuhan tak lagi pernah menampakkan diri. Ia memilih mengingatkan manusia untuk mentauhidkanNya lewat rasul yang di utusnya.

Tetapi bagaimanapun manusia lewat penciptaan Adam telah bersentuhan dengan Tuhannya. Tuhan dan manusia secara fisik pernah begitu dekat. Adam melihat langsung wujud AgungNya, menyaksikan KebesaranNya. Kita bisa membayangkan betapa mesranya komunikasi antara Tuhan dan Adam ketika Tuhan mengajari Adam berbagai hal dan berbagai nama di surga.  Allah dengan sifat penyayangnya tentu mengajari Adam yang tak memiliki pengetahuan sedikitpun dengan penuh kesabaran.

Persentuhan itu lekat pada ingatan dan kehidupan Adam selanjutnya. Menjadi cetak biru yang mengalir dalam darahnya yang ia wariskan kepada anak cucunya. Ingatan bahwa Tuhan itu Maha Agung, Maha Mulia, Maha Perkasa, Maha segalanya, jauh setelah ayah pertama manusia itu kembali kepada Tuhannya tetap saja melekat dalam kesadaran religius manusia. Karena itu, ketika kehidupan berlanjut dan ingatan tentang Tuhan menjadi ingatan yang samar, kecenderungan untuk mencari sesuatu yang hebat di luar dirinya mengantarkan manusia mencari Tuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline