Pada setiap akhir Desember orang-orang akan kembali memperdebatkan boleh tidaknya mengucapkan Selamat Natal pada yang merayakannya. Perdebatan yang berulang, dan selalu pasti masing-masing yakin pendapat merekalah yang terbenar. Jika sudah begitu maka sebagian kita akan mulai mencari apa pendapat Quraish Shihab tentang hal ini?
Seperti itulah Desember di Indonesia, seperti waktu yang pergi lalu kembali. Ketika Natal menjelang, perdebatan mulai bergulir. Natal berlalu perdebatan pun usai. Mengapung di udara untuk kembali ke bumi pada Desember berikut. Lagi-lagi nanti sebagian kita mencari apa kata Quraish Shihab tentang Natal?
Tetapi apakah karena sebagian kita mencari pendapatnya lalu menjadikannya orang yang paling didengar?
Bagi sebagian orang Indonesia, Quraish Shihab tak harus didengar. Di beberapa tempat orang-orang berbicara berbisik memasukkanya dalam golongan ajaran tertentu yang mengancam kemurnian Islam di Indonesia. Yang lebih berani, bicara secara terbuka. Yang sangat berani, menuliskan penentangannya terhadap pendapat Quraish Shihab di media-media sosial. Lupa siapakah ahli tafsir Al Quran yang telah membukukan Tafsirnya dalam 15 volume buku, yang bahkan beberapa lembar volume pertamanya juga tak sempat kita baca?
Kita terkadang lupa menakar berapa luas ilmu yang dimiliki seseorang untuk menuliskan satu saja buku ilmiah. Quraish Shihab menulis 49 judul buku plus 15 volume Tafsir Al Misbah ditambah lagi 4 jilid Tafsir Al Lubab. Maka pikirkanlah di mana tempat kita untuk berpendapat tentang islam di keluasan ilmunya? Ketika bahkan para ulama Indonesia sepakat untuk mempercayakan pada keluasan ilmu Quraish Shihab untuk menjawab segala tanya mengenai islam di salah satu koran nasional?
Kita memang nyaris tak pernah mendengar Beliau disebut Kyai. Gelaran yang jamak melekat pada ulama-ulama Indonesia itu, tak melekat sepanjang waktu pada namanya. Hanya sebagian kecil orang yang menyebutnya dengan kesantunan sebutan itu. Mungkin karena tanpa sebutan itu pula maka pendapatnya kadang masih disangsikan. Keteguhannya pada Islam dipertanyakan. Kita nyaris tak pernah meminta diri sendiri untuk mempelajari sosoknya, sesuatu yang begitu mudah kita lakukan sekarang. Ketiklah namanya di kolom mesin pencari, maka fakta tentang keluasan ilmunya akan berloncatan keluar memenuhi monitor di hadapan kita.
Ketika sebagian kita bahkan belum lahir, Quraish Shihab telah meraih gelar Master di Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Di tahun 1967 ia meraih gelar LC. Dua tahun kemudian,1969, Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i al-Qur'an al-Karim (kemukjizatan al-Qur'an al-Karim dari Segi Hukum)”. Untuk semakin mendalami Ilmu Tafsir, tahun 1980 Quraish Shihab kembali melanjutkan pendidikannya di Universitas yang sama. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktornya. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian dan analisis terhadap keotentikan Kitab Nazm ad-Durar karya al-Biqa’i)” ia presentasikan dengan baik dan mengantarnya lulus dengan pujian: Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ula (summa cum laude).
Ini hari Jumat, hari yang selalu mulia. Saya ingin berterima kasih kepada Beliau atas kemuliaan mengajarkan banyak hal tentang islam kepada Indonesia. Berterima kasih sudah memperlihatkan bahwa ajaran islam sesungguhnya sangat lekat pada kesantunan dan pemuliaan terhadap hakekat kemanusiaan. Bahwa semua manusia dicipta oleh tuhan yang sama, pun andai manusia itu menganggap ia memiliki tuhan yang berbeda. Maka dalam konsep berbeda itu Tuhan melerainya dengan: "lakuum diinukum wal yadiin".
Terima kasih sudah mengingatkan bahwa islam adalah rahmatan lil aalamiin. Maka jika keberadaan kita sebagai muslim dalam sebuah tempat tak menunjukkan pemuliaan terhadap segenap kehidupan dalam radius kehidupan kita, sesungguhnya tanpa sadar kitalah yang menodai Ruh Islam Rahmatan Lil Aalamiin itu.
Terima kasih Kyai H Muhammad Quraish Shihab sudah hidup ini masa ini. Masa di mana saya, suami dan anak-anak saya hidup. Kakak, adik dan sahabat-sahabat saya hidup. Di waktu sebelum mengenal Bapak, saya begitu iri membayangkan orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabiullah, sewaktu dengan para ulama besar yang hanya kami kenal lewat karya-karya tulisnya. Mereka bisa melemparkan pertanyaan-pertanyaan sederhana hingga yang sangat sulit mengenai pandangan islam atas kehidupan dan mendapatkan jawabannya seketika dari kedalaman ilmu para ulama besar itu.
Maafkan Indonesia yang telah lalai dan tak sadar sesungguhnya telah hidup sezaman dengan seorang ulama besar, ulama dunia, dan dia ada di sini, di negeri elok ini.