“ Meratapi hidup yang labirin nan pelik, aku tersungkur dalam kesunyiaan yang mencekik. Rongrongan dan kegaduhan jagat diacuhkan. Tak pelak dunia hanya menyajikan kesedihan. Insomnia kemiskinan begitu merasuk tidurku. Rumornya tiran telah kokoh berpuisi merdu”
-Tan Mibo-
Era disrupsi telah menghantarkan peradaban umat manusia ke dalam suatu kondisi, dimana melalui pencapaiaan taraf teknologi komunikasi, informasi dan transportasi membuat ruang dan waktu tidak lagi menjadi hambatan signifikan bagi akivitas kehidupan manusia, terutama di bidang ekonomi sebagai aktor utama yang membangun kesejahteraan sebuah bangsa.
Dampaknya bagi hubungan internasional adalah lahirnya sebuah arena kompetisi diantara bangsa-bangsa yang bernama pasar bebas. Norma dan aturan yang berlaku dalam arena tersebut adalah survival of the fittest, dimana Negara yang kuat akan berkuasa dan memiliki peradaban yang maju.
Ini merupakan gambaran keadaan global bila tatanan dunia baru dibangun diatas mekanisme kapital finance dan pasar bebas. Maka ide mengenai world without bounderies yang diusung oleh konsep kapitalisme global, akan berubah menjadi wahana bagi akumulasi modal dari kekuatan tanpa batas.
Ini merupakan tipikal eksploitasi kemanusiaan (penjajahan) di masa mendatang yang akan dilegalkan lewat perjanjian-perjanjian konspiratif internasional, yang akan membuat banyak bangsa akan kehilangan kemerdekaanya serta tidak berdaya melawan keadaan.
Dalam kondisi seperti ini, eksistensi suatu Negara dan bangsa untuk mampu bertahan sangat ditentukan oleh penguasaan ideologi, teknologi, penguasaan sumber daya alam, dan sumber daya manusia unggul yang dimiliki. Dengan begitu, Negara bangsa tersebut menguasai aspek material maupun aspek non material sebagai modal kontestasi mereka di arena pasar bebas.
Kemudian jika melihat keadaan hari ini yang sedang ditimpa pandemi Covid-19 sampai pemerintah memunculkan penegakan hukum pembatasan sosial secara ketat dan menjadikan darurat sipil sebagai opsi mengatasi penyebaran virus corona adalah suatu ironi. Pemerintah harusnya mengambil langkah yang manusiawi yakni karantina wilayah (lockdown).
Apabila pemerintah menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 tahun 2018 artinya menjadi tanggung jawab Pemerintah sepenuhnya dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat selama karantina wilayah diberlakukan. Kenapa pemerintah tidak berani mengambil kebijakan ini dan lebih ke darurat sipil karena bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa ekenomi kita sedang ambruk-ambruknya.
Makanya pemerintah tidak mau mengambil resiko kerugian dalam tugasnya untuk memenuhi kebutuhan hidup masyrakat dalam keadaan sperti ini. Ketidak sesuaian antara masalah dan cara penyelesaiannya menyebabkan konfigurasi politik dan ekonomi berubah drastis, tanpa ada satu pihak pun yang mampu mengendalikan perubahan itu sendiri. Imbasnya stabilitas ekonomi lebih diutamakan ketimbang nyawa manusia-manusia yang miskin.