Aku menundukan kepala seraya menetra penggalan-penggalan diksi.
Aku menekuri lembaran teka-teki fiksi.
Aku bangkit membolak-balik halaman untuk menyisi makna-makna suci.
Aku mabuk dalam kesunyian yang terjahit aksi, bahagia nan ilusi akibat kebohongan yang didekorasi.
Tapi bukan itu tujuannya, keberkelanaan kita mestinya menyusuri mantra-mantra suhfi.
Karena manusia hanya apa yang terbahasakan dalam kitab-kitab suci.
Majdub hanya mereka yang tersihir percikan-percikan cinta makrifati
Sebab kekasih telah menenggelamkannya dalam lautan luas sunyi tak bertepi
Aku menyusuri hutan berkelana dalam tafsir-tafsir kehidupan nan hampa
Hamba papa yang hina, mengais demi hangatnya pelukan cinta
Dalam sujud-sujud aku mengemis kasih, hatiku ribang akan sayu wajah cinta
Oh kekasih, aku menyebutmu dalam lantutan-lantunan merayu dan menyapa
Pada helai kain terakhir, aku tuliskan dengan tinta darah
Padanya yang memiliki segalanya dengan segala harap aku datang
Akankah ibadahku yang singkat dan tulus ini mampu menghapus dosa dan meleburkan murka
Jika iya, jangan pernah palingkan wajahmu dari aku yang merindukan.
Kali Inggoi, 22 April 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H