Lihat ke Halaman Asli

Buku, Label, dan Takdir

Diperbarui: 3 Oktober 2018   01:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Buku mengubah takdir hidup orang-orang", kata Dominguez dalam karyanya La casa de papel. Alkisah, seorang wanita berusia 45 tahun pengajar sastra di Universitas Cambridge, Bluma Lennon tewas ketabrak mobil ketika sedang membaca karangan Emily Dickinson, Poems. Selain itu Carlos Brauer tokoh penting dari La casa de papel, menyendiri ke tepi pantai Rocha setelah indeks buku-buku yang ia buat dilahap api.

Nasib Carlos sangat tragis, ia boyong semua buku-bukunya (saat itu sekitar dua puluh ribu) dan dari buku-buku sebanyak itu ia bikin rumah dari buku-bukunya. Kejadian semisal ini hanya bisa kita temukan dalam karya fiksi. Namun, bukankah bangunan sebuah kisah fiksi dilatarbelakangi dari kejadian nyata?

Lain lagi kisah yang ditulis Miguel Cervantes abad ke-17. Tersebutlah, seorang lelaki tua yang berusia 50 tahun hidup di sebuah pedesaan bernama La Mancha. Alonso Quinjano, kesehariannya hanyalah membaca  kisah-kisah pahlawan di zaman klasik. Kelak, ilham dari buku-buku kisah para pahlawan inilah yang akan membawanya kepada sebuah petualangan dan pertempuran. "Aku dilahirkan untuk jadi tauladan nasib malang, sasaran dan arah anak panah untuk disakiti".

Don Quixote De La Mancha, begitulah nama yang diinginkan oleh lelaki tua nan kurus ini. Memulai petualangannya dengan kudanya, Rocinante. Buku-buku seri para pahlawan telah menyihir akal sehatnya, sehingga keluarga dan orang-orang sekitarnya terhera-heran dan geleng-geleng kepala. Kisah yang ditulis Miguel Cervantes dalam abad ke 17 mampu menggerakan daya imajinasi seseorang dan dari ini pula dunia kesusastraan Barat berkembang.

Das Capital yang ditulis Karl Marx-Engels, mampu membuat Rusia pada abad 19 berhasil mendirikan negara diktator proletariat pertama yang dipimpin oleh Lenin. Namun, George Orwell dengan karyanya Animal Farm, dicekal dan dibuang dari negaranya karena melakukan sebuah kritik tajam terhadap kekuasaan Partai Komunis Internasional.

Konon, pada sidang Landrat di Bandung tahun 1931 Soekarno diadili karena memiliki buku Massa Aksi karya Tan Malaka. Diakui oleh Soekarno bahwa Massa Aksi menjadi ilham untuk dia menulis bukunya, Indonesia Menggugat. Dan memang pada rentang tahun 1926 hingga 1930an ketika aksi pemberontakan pertama PKI berhasil digagalkan Belanda, buku-buku yang berbau komunis dilarang. Termasuk tulisan-tulisan Tan Malaka. Dan nanti pada ketiaka Soeharto berkuasa buku-buku ini kembali dilarang.

"Saya percaya permintaan kepada buku-buku yang ada cukup keras" kata Tan Malaka, "serta nafsu dan keberanian buat mencari atau membagikan buku-buku terlarang cukup besar, tetap rakyat Indonesia belum lagi sanggup mengatasi tamparan rekasi Belanda". Perkara buku memang dari dulu sudah menjadi sebuah problem. Problem bagi suatu pemerintahan dan kekuasaan yang sengaja diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan.

Karya Pulau Buru yang ditulis oleh Pramodeya Ananta Toer pernah menjadi buku "terlarang" pada masa kepemipinan Soeharto. Buku-buku yang berhaluan kiri diharamkan dan bagi siapa saja yang ketahuan membaca, berdiskusi atau memilikinya akan diciduk dan diadili. Ntah, kenapa sebuah pemerintahan sering kali menciptakan sebuah hantu yang padahal tidak perlu.

"Pada masa kediktatoran militer terakhir di Argentina" tulis Dominguez, "banyak orang membakari buku-buku mereka di toilet, di kamar mandi, atau mengubur koleksinya di bawah fondasi rumah. Buku menjadi sangat berbahaya. Di paksa memilih antara buku dengan hidup itu sendiri, orang-orang memilih menjadi algojonya. Di zaman itu buku-buku membuat banyak orang jadi tertuduh. Buku menjerumuskan mereka".

Dari buku hidup seseorang bisa berubah. Baik ke hal romantis ataupun tragis. Tapi dalam sejarah kedua sisi itu selalu ada, yang dominan lebih banyak hal yang tragisnya. Abbas Mahmoud Al Akkad, penyair Mesir lelaki yang tidak tamat sekolah memiliki kecerdasan karena kebiasaannya bergaul dengan buku. Lain lagi dengan Sayyid Quthb. Sastrawan sekaligus aktivis jama'ah Ikhwanul Muslimin ini, karena buku ia dilempar ke penjara dan akhir hidupnya meninggal ditiang gantungan. 

Kata beliau,"Kekuatan manakah selain dari kekuatan kata-kata, yang dalam waktu yang menakutkan dan gelap itu telah dapat memecah dinding keghaiban, melampaui batas dan rintangan, dan tertulis dalam catatn abadi kenyataan yang dapat disaksikan itu?".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline