Lihat ke Halaman Asli

Tania Savana S

Live, Laugh, Love

Positif tapi Menyakitkan

Diperbarui: 13 Oktober 2020   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Sudahlah, ga usah dipikirin. Begitu aja baper, move on donk!”

Kata-kata tersebut begitu familier namun terasa mengganjal. Apalagi diucapkan oleh orang yang dekat dengan kita. Namun bagaimana jika yang diucapkan oleh mereka merupakan ucapan yang mengandung makna positif? Bukankah seharusnya kita merasa senang dan bersemangat karena ada orang lain yang mendukung kita?

Misalnya, Anda baru saja putus hubungan dari pasangan Anda. Perasaan berkecamuk antara sedih, marah kecewa dan takut. Hal tersebut diketahui oleh teman dan kenalan Anda. Mereka berusaha menghibur Anda dengan mengatakan hal-hal yang terdengar positif.

“tenang saja, semua akan baik-baik saja“; ‘harusnya kamu yang menemani dia, kasihan dia tidak punya teman dan kesepian. Beri semangat, kan kamu orang yang baik”

Disisi lain, banyak orang diajarkan untuk menekan emosi mereka demi berbagai alasan pribadi, sosial atau budaya- terutama emosi negatif. Sedihnya, menyangkal emosi negatif berarti menolak mekanisme umpan balik yang membantu seseorang untuk menyelesaikan masalah. Sebagai hasilnya, banyak individu yang tertekan ini berjuang menghadapi masalah mereka sepanjang hidup. Dan jika mereka tidak bisa memecahkan masalah, mereka tidak bisa bahagia (Manson, 2018).

Di Indonesia, masih banyak individu yang merasa tidak enak jika harus menunjukkan emosi yang sesungguhnya. Jika berkaitan dengan gender, masih ada anggapan bahwa laki-laki tidak boleh menangis. Perempuan yang aktif berbicara dan ekspresif dikatakan tidak anggun dan kurang mencerminkan kodratnya. Jika berkaitan dengan latar belakang pekerjaan, pendidikan atau sosial ekonomi, adalah tidak biasa jika yang memiliki pendidikan tinggi dan ekonomi berkecukupan untuk merasa sedih. Sehingga ketika kita ingin mengekspresikan perasaan kita yang sesungguhnya, dianggap berlebihan atau tidak bersyukur.

Budaya sopan santun dan tidak melawan terutama pada orang yang lebih tua, kepada gender lain, maupun yang dirasa lebih tinggi jabatannya. Lebih baik diam daripada celaka. Seolah tidak diberikan ruang untuk merasakan perasaan asli nya. Tidak diberi kesempatan untuk merasakan emosi negatifnya sendiri, seolah buang-buang waktu untuk bersedih atau marah. Tuntutan dari luar mengarahkan bahwa kita perlu fokus pada apa yang perlu disyukuri. Bersyukur tidaklah salah, hanya saja terkesan melompati perasaan yang sesungguhnya. Sang empunya perasaan yang sedang bersedih dan kecewa merasa terjustifikasi bahwa sedih itu tidak perlu. Tetapi di dalam hati masih mengganjal bahkan semakin tidak enak. Muncul perasaan baru yang tidak nyaman karena merasa kecewa akan kata-kata positif tersebut disaat yang tidak tepat. Pembahasan di atas mengarahkan kepada suatu konsep yang dikenal dengan Toxic Positivity.

Toxic Positivity merupakan suatu konsep di mana kita perlu selalu berpikir positif untuk menghadapi permasalahan dan hambatan, terlepas bagaimana perasaan yang sedang dialami orang tersebut. Padahal konsep tersebut terdengar bagus, tapi ketika dialami sendiri seperti terasa aneh. Toxic Positivity dapat dilakukan kepada orang lain atau kepada diri sendiri. Bentuk dasarnya adalah menyemangati orang lain atau diri sendiri dengan kalimat-kalimat positif semata, hanya saja terkesan cepat dan tidak menguraikan perasaan yang sedang dirasakan saat itu.

Bahayakah menjadi positif? Tidak. Hanya saja ketika pengertian positif di sini, membuat Anda menghindari perasaan dan pemikiran negatif tanpa diurai atau diselesaikan maka akan membuatnya semakin besar dan mendorong Anda untuk melakukan kecenderungan menghindari sesuatu yang negatif. Kita hanya manusia biasa, yang tidak hanya manusia yang merasakan gembira, melainkan yang juga merasakan sedih, takut, kecewa.

Kalimat yang biasa didengar dari Toxic Positivity banyak yang mengandung "harusnya, mestinya,..". Seolah perasaan negatif kita tidak valid di lingkungan sosial pada umumnya. Anggapan bahwa banyak orang lain yang lebih sulit, perlu kita kasihani dan kita harus lebih kuat bahkan ikut membantu.

Pernahkah Anda pernah menerima ungkapan Toxic Positivity atau justru Anda lah yang mengungkapkan Toxic Positivity terhadap orang lain? 

Berhati-hati barangkali Anda pernah melakukan Toxic Positivity terhadap orang lain secara tidak sadar dan sering dilakukan. Misalnya, ketika ada teman yang curhat atau bersedih hati, respons yang Anda lakukan adalah dengan mengatakan "semua akan baik baik saja; masa kamu begitu saja sedih. Atau bisa saja dengan maksud untuk menyemangati, Anda langsung bercerita mengenai bagaimana Anda berhasil melewati kesulitan dengan cepat. Dalam jangka panjang, Anda sendiri pun akan kehilangan makna akan hubungan, bisa jadi orang lain akan menjadi kurang percaya atau cenderung menghindar untuk dekat dengan Anda. Menghindari perkataan-perkataan yang mengandung Toxic Positivity kembali didengar oleh mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline