Lihat ke Halaman Asli

10 Alasan Tolak Dana Aspirasi DPR

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dzikry Subhanie - Jurnalparlemen.com

Senayan - Usulan sejumlah anggota Dewan tentang perlunya dana Rp 15 miliar per tahun per daerah pemilihan ditolak mentah-mentah oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Sekjen Sekretariat Nasional Fitra Yuna Farhan memberikan 10 alasan mengapa pihaknya menolak usulan yang disampaikan Fraksi Partai Golkar dan kemudian diamini Fraksi lainnya tersebut.

"Seknas Fitra meminta kepada Menteri Keuangan sebagai wakil Pemerintah untuk menolak permintaan DPR sebagai jawaban pemerintah atas tanggapan Fraksi-Fraksi dalam pembahasan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal 2011," kata Yuna dalam rilis yang diterima Jurnalparemen.com, Selasa (1/6).

Yuna lantas memaparkan 10 alasan yang melatarbelakangi penolakan tersebut. Pertama, dana aspirasi menyuburkan calo anggaran. Menurutnya, DPR tak ubahnya menjadi calo anggaran yang legal bagi daerah pemilihannya.

"Daerah akan berlomba-lomba datang ke Jakarta untuk melobi anggota DPR daerah pemilihannya dalam rangka memperoleh dana aspirasi. Peluang adanya kick back bagi anggota DPR sangat mungkin terjadi. Di mana terjadi pemotongan dana aspirasi bagi daerah pemilihan untuk menyetor kembali ke anggota DPR. Seharusnya DPR belajar dari kasus P2SEM di Jawa Timur, di mana uang pemberdayaan masyarakat berdasarkan rekomendasi DPRD ini, telah menjerah DPRD di Provinsi dan Kab/Kota di Jawa Timur, karena menerima kick back dana P2SEM," papar Yuna.

Kedua, dana aspirasi memperbesar jurang kemiskinan antar daerah. "Alasan Dana Aspirasi untuk memeratakan anggaran juga tidak masuk akal. Adanya dana aspirasi berdasarkan daerah Pemilihan justru akan memperlebar antara daerah miskin dan kaya karena anggaran hanya terpusat pada daerah-daerah yang banyak penduduknya (sesuai dengan proporsionalitas penentuan dapil) dibandingkan daerah yang miskin. Sebagai contoh, DKI Jakarta yang memiliki angka kemiskinan terendah yakni 3,62 persen akan memperoleh dana aspirasi Rp 315 miliar, sementara Maluku yang angka Kemiskinannya 28,3 persen hanya mendapat dana aspirasi Rp 90 miliar. Jelas usulan ini bertentangan dengan logika pemerataan yang diungkapkan DPR," katanya.

Ketiga, dana aspirasi mengacaukan sistem perencanaan penganggaran dan perimbangan keuangan. Sistem Perencanaan Penganggaran menggunakan pendekatan level Pemerintahan mulai dari Kab/kota, Provinsi dan Pusat. Sementara dana aspirasi mempergunakan pendekatan daerah pemilihan yang tidak identik dengan sistem pemerintahan. Data-data statistik seperti angka kemiskinan, pertumbuhan ekonomi pengangguran termasuk penentuan alokasi dana perimbangan mempergunakan pendekatan level pemerintahan. "Dengan adanya dana aspirasi akan semakin sulit diukur dampak suatu anggaran pada suatu daerah," tegasnya.

Keempat, dana aspirasi tidak sesuai dengan pendekatan anggaran berbasis kinerja. Sejak tahun 2003 Indonesia memiliki UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang telah mengubah paradigma penganggaran dari sistem tradisional yang berorientasi pada input atau anggaran menjadi anggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja yang dimandatkan dalam UU ini adalah anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Dengan adanya dana aspirasi yang dibagi rata menurut daerah Pemilihan, jelas DPR masih menggunakan paradigma lama anggaran yang hanya berorientasi pada input atau sekadar menghabiskan anggaran tanpa melihat kinerja yang akan dicapai.

Kelima, dana aspirasi bertentangan dengan azas dana perimbangan. Adanya dana aspirasi semakin menambah panjang deretan dana liar ke daerah yang tidak sesuai dengan azas dana perimbangan yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, seperti diamanatkan UU No 33 tahun 2004. DPR tidak bisa serta merta mengalokasikan dana aspirasi sebelum melakukan perubahan pada UU No 33/2004.

Keenam, dana aspirasi menyebabkan anggaran tidak efisien. Misalnya Jawa Barat yang memiliki permasalahan angka kematian ibu tinggi, dengan 91 kursi memperoleh dana aspirasi Rp 1,3 triliun. Dengan anggaran 1,3 triliun seharusnya bisa menyelesaikan masalah kematian ibu di Jawa Barat, namun karena 91 kursi dimiliki oleh partai berbeda-beda maka penggunaan anggaran menjadi fragmented dan tidak efisien. Sehingga anggaran yang besar tidak mampu menjawab persoalan yang ada.

Ketujuh, dana aspirasi tidak memiliki landasan hukum. Jika dana aspirasi ini jadi dialokasikan pada APBN 2011 maka dapat dikatakan dana aspirasi ini merupakan dana ilegal karena tidak memiliki dasar hukum. Pasal 12 ayat (2) UU No 17/2003 menyatakan RAPBN disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah, tidak berdasarkan daerah pemilihan, oleh karena DPR tidak memiliki instrumen perencanaan yang merupakan domain pemerintah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline