Lihat ke Halaman Asli

KEPADAMU ANAKKU KUTITIPKAN

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Anakku, Putriku……..Aku tahu kau telah bersungguh-sungguh mencintai profesimu bagaikan kau telah mencintai anakmu sakti mandala putra . Setiap aku bicara tentang putramu, setiap aku menghubungi kau , tempat yang paling kau senangi akan selalu bersentuhan dengan pantai Lakban ditepi laut, aku tahu kerinduanmu kepada laut sudah ada semasa engkau dilahirkan, aku melihat di matamu laut selalu bergemuruh seperti cita-citamu untuk menjadi doktr spesialis yang tak pernah surut. Ketika engkau mengungkapkan pergulatanmu dengan profesimu maka engkau harus bicara dengan laut, karena keindahan laut adalah bahagian dari hidupmu yang selalu membentang di bening bola matamu. Aku tahu kalau kau bicara tentang kekasihmu yang menjadi suamimu sebagai pendampingmu kau memilih angkatan laut, aku tidak akan heran karena masa lalumu, masa engkau masih kecil selalu bermain pasir di pantai yang panjang ditepi laut. Karena kecintaanmu pada laut setiap lembayung merah jingga bertengger di atas puncak gunung soputan dengan gerimis kecil menyiram debu2 yang beterbangan dijalan menuju pantai Lakban, maka saat seperti itu engkau selalu berjalan diatas bentangan pelangi mengunjungi laut. Malah, bukan hanya di permukaan dan kedalaman matamu kutemukan laut, tetapi di seluruh lekuk tubuhmu. Sayangnya, penghayatanku terhadap laut tidak sebergelora, sebergemuruh, seberdebum, atau sehening, setakzim kecintaanmu kepada laut. Aku memang tidak pernah bersungguh-sungguh menghayati laut, juga ketika kau menafsirkan berbagai sudut dan lekuk laut.

Langit belum tertutup, Cakrawala masih terbuka, Burung-burung bangau meliuk di keluasan senja menuju sarangnya dihutan mangrove disekitar rumah sakitmu. Anak-anak masih bermain pasir, bersepeda, dibimbing orangtua atau pembantunya. Menara mesjid kukuh di kejauhan menadah langit seakan menunjuk akhir segala alir. Dari beranda rumah di pemukiman berbukit ini kulihat hamparan bangunan di pusat kota, juga kemuning padi di tepi bukit, lembah yang tak henti menyimpan gairah bagi para penggarap sawah. Tapi memang laut tak ada, juga di bola matamu. Laut mungkin tetap bergemuruh di balik gunung-gunung itu, tapi deburnya tertahan seperti juga ombak pada matamu.

Langit jadi merah. Seekor naga menukik, menyapu bintang-bintang dan matahari. Sisik-sisik sayapnya memercik bara. Api bertebaran. Angin berputing. Ketakutan disemprotkan ke udara seperti tinta gurita. Para satria berbaju zirah itu bergelimpangan. Jerit putus asa menyesaki ruang. Makhluk itu marah luar biasa. Rumah-rumah, pohon-pohon, pucuk gunung di kejauhan, jadi remuk tak jelas bentuk. Rata tanah. Semua. Kecuali anakmu Sakti yang berdiri tegak tak bergerak. Tangannya menggenggam busur yang selesai teregang. Wajahnya segelap batu, namun matanya seterang kilat. Dari busurnyalah panah besar yang menghunjam di dada sang naga yang jatuh menggeliat di atas pasir putih yang menyimpan kenangan masa lalu setiap insan yang hidup di alam yang indah ini.. selamat anakku kutitipkan anugerah yang telah di berikan Tuhan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline