Sumatera Barat sebagai propinsi yang dilalui khatulistiwa, sepanjang tahun mempunyai curah hujan yang tinggi. Tipe hujannya adalah ekuatorial, dimana puncak intensitas curah hujan dua kali sepanjang tahun yakni bulan Mei/April dan Oktober/November.
Tipe ekuatorial sangat berbeda dengan tipe monsun (sebagian Sumatera bagian timur, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara) yang hanya punya puncak hujan sekali dalam setahun. Begitu juga ketika tiba musim kemarau. Tipe monsun saat musim kemarau bisa tidak hujan sama sekali 2-3 bulan, sedangkan tipe ekuatorial hampir tidak pernah hari tanpa hujan lebih dari sebulan.
Kampung saya terletak tak jauh dari wilayah yang kena gempa dahsat 30 September 2009 lalu, bernama Desa Tanah Runtuh Kecamatan Padang Sago Kabupaten Padang Pariaman. Di kampung kami kebutuhan air mengandalkan air sungai dan mata air. Khusus keluarga besar kami, mengandalkan mata air untuk kebutuhan sehari-hari. Meskipun datang musim kemarau mata air ini tak pernah kering karena letaknya yang cukup dalam di sebuah lembah.
Setiap habis mandi, masing-masing anggota keluarga membawa seember air untuk kebutuhan lainnya seperti minum, cuci piring dan lain sebagainya. Kendala terbesar dalam pemenuhan kebutuhan air sehari-hari adalah membawa air dari lembah sampai ke rumah. Lembah tersebut cukup terjal dengan kemiringan sekitar 60 derajat.
Selain terjal pendakiannya juga tinggi. Seumpama kita sehabis mandi, sesampai di rumah berkeringat lagi. Tetangga kami ada yang mempunyai sumur namun kedalaman sumur sampai mendapatkan air lebih dari 30 m. Berbekal dari kondisi tersebut maka dibuatlah kulah sebagai solusi.
Kulah dalam bahasa kampung kami adalah sebuah bak penampungan air yang cukup besar. Ukurannya bisa sebesar kamar tidur. Bak ini digunakan untuk menampung air hujan. Ujung-ujung atap rumah dibuatkan talang air dan dialirkan ke kulah. Teknologi yang digunakan tergolong sederhana.
Kulah ini tidak dibiarkan terbuka namun diberi atap juga. Tujuannya adalah untuk mengurangi terjadinya penguapan (evaporasi). Hampir setiap rumah dikampung kami memiliki kulah disamping atau belakang rumahnya. Beda kulah dengan kolam hanya pada posisi saja. Kalau kolam dibuat dengan menggali tanah sedangkan kulah terletak di atas tanah.
Kearian lokal ini ternyata adalah praktek memanen air hujan. Teknologi memanen air hujan ini juga harus diikuti dengan konservasi air. Maksudnya adalah air digunakan seefektif dan seefisien mungkin dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minum, mandi, cuci dan lain sebagainya. Teknik ini tergolong sangat mudah dan murah. Tidak dibutuhkan keahlian atau pengetahuan khusus untuk membuat kulah ini namun di Indonesia masih jarang dilakukan.
Praktek memanen hujan penting dijadikan sebagai alternatif sumber air terutama bagi daerah-daerah yang jauh dari sumber air. Kebiasaan di masyarakat kita adalah lupa ketika air melimpah. Saat musim hujan datang, air dibiarkan saja terbuang tanpa bisa dimanfaatkan.
Kebiasaan ini mungkin didasari oleh keyakinan yang berkembang yakni wilayah kita secara umum airnya melimpah. Sehingga pepatah yang ada di masyarakatpun hanya untuk kondisi musim hujan, yaitu "sedia payung sebelum hujan". Tidak ada pepatah untuk musim kemarau, "sedia bak sebelum kering".
Dari pengalaman kami ini, diharapkan kita dapat mengembangkan memanen air hujan dan konservasi air ini. Dibutuhkan pihak yang dapat memberi informasi dan penyuluhan yang berkesinambungan dalam hal ini adalah pemerintah supaya dilakukan secara luas pada masyarakat terutama di daerah-daerah yang tiap tahun rawan akan bencana kekeringan.