Lihat ke Halaman Asli

Tanah Beta

Mahasiswa Semester Akhir pada IAIN Ambon

Patriarki

Diperbarui: 6 September 2018   01:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Tahun lalu. Penulis di gedung Tempo, jalan Palmerah, Jakarta Selatan. Dokpri

Oleh: Tanah Beta

Politik tidak mengenal kawan dan lawan, itu benar! "Politik adalah lumpur kotor. Tapi, jika sudah terdesak, maka terjunlah" Soe Hoek Gie.

Mari berpikir sebentar tentang Soleh kata yang kian lama sudah meredam dari telinga kita---meski sesekali membuncah seperti suara bayonet, ia nyaring, dan nyaring---adalah "patriarki" yang selalu hanya dilekatkan pada perempuan di beberapa abad lalu.

Semua dari kita bahkan bisa menilai dengan sendiri: seperti apa rasa, karsa, dan makna  "patriarki". Sesungguhnya hanyalah kesalahan jika kita berpikir itu telah tertanam dalam kedalaman bumi---jauh tak terukur.

Apa lagi bicara soal "patriarki" politik. Adalah perbudakan sederhana dalam ihwal permainan taktik dan strategi yang dipakai, sekalipun memecah belah batin sesama itu tak jadi soal, jika untuk kepentingan yang mau dicapai.

Terkadang tak ada kesepakatan ... jika "patriarki" hanya soal perbudakan terhadap perempuan---mereka tak pernah diberi kebebasan, Bahkan tak ada kata "Free Women" namun hanya "free man" maka munculah kata "Preman". Tapi bagaimana dengan "patriarki" politik?

Soal remeh-temeh politik, ... Percaya kalau sesungguhnya banyak orang tak pernah berpikir tentang "patriarki" jika hanya di sandarkan pada perempuan, maka lahirlah "budak Belian" berkeliaran dalam peraturan strategi yang dibangun.

Maka dengan begitu, kepercayaan terbesar hanyalah pada perkataan sebuah kebenaran dari mulut seorang Pram: "seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran". Makna kalimat ini mungkin dinilai hanya sebatas kejujuran seseorang terhadap diri, tapi ketidaksadaran hilang sesekali kalau saja ternyata itu kalimat yang bagi Beta: setiap orang harus bebaskan dirinya sejak dalam kandungan.

"Patriarki" politik ialah perbudakan diri seorang (bukan perempuan) yang sebentar menjadi gundik, "budak Belian" dan lambat laun akan berontak lebih dari sekadar seekor badak. Hanya butuh kesabaran kian lama. Itu hal acap dimainkan kala hidup pada sebuah dekade yang jauh dari pergaulan.

Iya! Sesekali akal mesti menjadi tumpuan kebebasan diri, biar tak harus menjadi "ba'bean" dalam dunia "negeri sulap" ala Ishak R. BoufakarIshak R. Boufakar. Lalu meredam pikir dan tenggelam dalam dasar politik rada-rada "patriarki"-sme (sebuah paham perbudakan perempuan) yang sebenarnya tidak hanya pada kelamin vagina, tapi juga penis yang sangat berbau ketiak---menjadi pesuruh---kesana dan kesini atas perintah seorang "tuan besar".

Maka tidak salah jika "patriarki" politik adalah keinginan seseorang dalam diri yang terkunci dibawah hidung mancung "tuan besar" untuk siap diperintah seperti kerbau-kerbau ladang (BUDAK).

Ambon, 6 September 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline