Adi, seorang pelukis tak ternama. Dan Intan, seorang wanita anak pengusaha sohor. Ia sangat di cintai Adi. Mereka berdua adalah sepasang kekasih yang selalu menghabiskan waktu bersama. Suka, duka, mereka jalani dengan penuh kebahagiaan. Tiada yang mampu memisahkan, kecuali maut atas kehendak tuhan, itu janji mereka berdua. Namun pada akhirnya Adi dan Intan harus berpisah atas keinginan orang tua intan. Ayah Intan ingin menyekolahkannya ke luar negeri.
Sebelum berpisah ada sebuah janji yang mereka kukuhkan menukik kedasar hati mereka berdua. Janji yang membuat mereka berdua dalam kerinduan berkepanjangan. Tanpa jeda waktu, Adi, seorang yang sangat setia menunggu kedatangan pacar yang dicantainya, harus rela hidup dalam kesendirian tanpa di dampingi kekasihnya.
Dan pada suatu ketika janji yang sudah mereka ikrarkan sebagai dasar kesetian cinta, walau jarak yang memisahkan, dan rentang antara samudra, menjadi janji sumpa serapah yang membuat Adi kecewa. Penantian dirinya atas Intan tak ada kepastian. Ia lalu memilih pergi dan berlalu, serupa debu yang berhamparan tiada henti--Mencari kehidupan baru yang menjanjikan kehidupan lebih baik tanpa harus mengingat masa-masa ketika masih bersama Intan. Ia lalu pergi menguburkan semua kisah cintanya dengan Intan pada sebuah gubuk yang selalu mereka berdua habiskan waktu.
***
Kala itu, dengan keindahan alam pagi hari, aku duduk pada sebuah dipan yang terletak di depan rumah, ditemani segelas kopi hangat yang tergeletak diatas meja depan dipan. Menebarkan pandangan ke arah pegunungan nan begitu indah, hamparan pegunungan yang pabila siapa saja memandang, tak akan melepaskan pandangan darinya. Sungguh mempesona ciptaan tuhan yang menghamparkan keindahannya.
Saat keseriusanku memandang alam yang mempesona indah sembari menyeduh segelas kopi, konsentrasiku terganggu oleh ponsel yang kuletakkan di atas meja—berdering. Intan menelponku, Ia ingin bertemu, nadanya begitu mendesak. Suara yang tak seperti biasanya, ada sesuatu yang harus ku dengarkan darinya. Tanpa basa basi, aku pun bergegas menemuinya. Kami berjanjian untuk bertemu pada sebuah gubuk—gubuk mungil yang setiap harinya menemani kemesraan aku dan intan—gubuk yang menjadi saksi bisu cinta kami berdua—gubuk yang selalu menjadi tempat peraduan cinta.
Aku dengan tampang seadanya, mengenakan baju oblong, celana jeans yang sudah hampir seminggu tak di cuci, dan sandal jepit berwarna biru. Menelusuri jalanan seperti biasanya, maklum aku hanyalah anak yang lahir dari keluarga sederhana, pekerjaan hanya sebagai pelukis yang tak ternama. Makanya hanya dengan stile yang tidak terlalu modis. Sementara berjalan menelusuri jalanan yang tidak terlalu pelik. Dengan suasana riang tanpa bertanya dalam hati, apa yang akan disampaikan Intan nanti kalau bertemu? Mendengar Intan ingin bertemu, kebehagianku menguasai diriku.
Di depan gubuk Intan sudah ada lebih dulu—perempuan dengan perawakkan yang begitu cantik, bergaya feminim, dan menggenggam ponsel di tangannya, sudah menungguku sedari tadi. Aku memandang dari jarak yang lumayan jauh, Intan belum melihatku, dia bagai orang yang tidak sabar untuk bertemu, dengan padangan yang begitu nanar liar, seperti orang yang sedang mencari sesuatu. Aku mendekati gubuk itu. Saat melihatku, Intan menatap penuh tanda tanya dengan mata yang berkaca. Aku masih memandangnya. Ada kesedihan yang ingin menyeruak dari wajahnya.
Aku mendekati Inta, kami bertatapan tanpa suara dan gerakan apapun. Gerak kami seakan terkena sengatan listrik, menghentikan kami denga spontan. Beberapa menit kemudian suara seduh-sedan Intan membising di telingaku. Mata yang tadinya berkaca, kini membanjiri bulir-bulis air di pipinya yang halus dan lembut itu. Tak tahan melihat air mata yang terus-menerus mengalir—membasahi wajahnya yang cantik. Aku lalu mendekatinya, menggenggam tangannya, dan menentengnya masuk kedalam gubuk untuk menenangkan diri. Di dalam gubuk terdapat serambi, kayunya sudah nampak lapuk. Aku dudukkan intan diatas serambi, sementara aku duduk didepannya dengan beralaskan tanah lalu menyandarkan kepalaku di pahanya.
Sekitar 15 menit berseduh-sedan, kini bising isak Intan mulai menghilang. Ia lalu memanggil namaku dengan suara yang terdengar serak. Aku lantas mengangkat kepala dan memandangnya lamat-lamat, tanpa mengucap sepata kata pun. Intan melakukan hal yang sama sepertiku. Kami saling bertatapan, tatapan yang menyimpan sebuah teka-teki. ‘Ada apa sebanarnya’, aku berdesah dalam hati.
Tiba-tiba, ‘Di’… Intan kebali memanggilku dengan sura seraknya lagi. Aku hanya memandang wajahnya yang penuh kesedihan, tanpa beruara sedikit pun. Tapi, Intan terus mendesah namaku dengan suara serak yang sama.