Bukan Andre Villas Boas, bukan Carlo Ancelotti, tapi Roberto Di Matteo yang merupakan eks pemain Chelsea yang mendapat simpati dari penggemar Chelsea saat ini.
Ketika kedua nama pertama tidak bisa memperbaiki performa Chelsea, ternyata nama yang awalnya hanya sebagai asisten ini sanggup membuat Chelsea setidaknya tidak tampil membosankan. Dengan formasi yang kerap menampilkan permainan tidak efektif Florent Malouda, Salomon Kalou, atau Bosingwa, Chelsea dibuat stabil lagi oleh Di Matteo. Kini, tantangan itu kembali datang setelah Chelsea dihadapkan dengan pertandingan penting melawan Tottenham Hotspurs dan Barcelona.
Sebagai pemain, Roberto Di Matteo memang cukup dikenal di Chelsea apalagi ketika era Italiano hijrah ke Liga Inggris. Nama seperti Gianfranco Zola atau Paolo Di Canio menjadi bintang kala itu, dan Di Matteo pun juga dianggap figur sentral di klubnya. Sayang sekali akibat cedera parah berturut-turut dia harus mengakhiri karirnya. Dengan karir yang berakhir di Chelsea, publik Stamford Bridge pun amat menghargai sosok ini. Namun, ketika dia diangkat menjadi pelatih interim Chelsea, suporter tidak terlalu berharap karena rekam jejaknya sebagai pelatih tidak begitu menarik.
Sebagai pelatih memang dia tidak sementereng Carlo Ancelotti atau bahkan Villas-Boas yang di usia amat muda sudah membawa FC Porto juara Europa League. Dia hanya melatih tim cere macam MK Dons atau West Browmwich Albion. Sebagai pelatih WBA, timnya bahkan pernah dibabat Chelsea 0-6. Namun, ekspektasi publik atas namanya yang rendah ternyata menjadi berbalik. Performa Chelsea makin baik setelah mereka berhasil membalikkan prediksi dengan menyingkirkan Napoli di UEFA Champions League. Padahal, di tandang mereka sudah dibabat 4-1. Kans meraih gelar lainnya juga masih terbuka di Piala FA.
Laga di Piala FA dan UEFA Champions League menjadi pertaruhan Roberto Di Matteo. Dia tentu tidak ingin hanya menjadi pelatih sementara untuk Chelsea. Jika mampu membuat Abramovich tersenyum, tidak mustahil dia akan jadi pelatih tetap musim depan. Pola kepelatihannya memang lebih terbuka dan lebih efektif ketimbang dua pendulunya. Tidak seperti Ancelloti atau Villas-Boas yang kerap memberikan strategi yang itu-itu saja, Rotasi yang Di Matteo tekankan memang tidak lagi menjadi momok. Di masa lalu pemain Chelsea kerap memprotes rotasi, terutama di era Claudio Ranieri. Di era Di Matteo, rotasi harus berjalan. Kunci agar pemain tidak ngambek adalah pendekatan personal dan penekanan bahwa tim adalah yang utama.
Rotasi memang jadi kekuatan sebuah tim menghadapi ketatnya liga. Dengan pelatih sekaliber Sir Alex Ferguson, pemain sebintang apapun harus rela dicadangkan demi tim tetap stabil dan bisa berprestasi. Di Matteo juga punya konsep sama. Namun, seperti tidak mau menghadapi protes pemainnya seperti pelatih-pelatih lain, dia harus memberikan penjelasan kenapa pemain dibangkucadangkan. Cara ini memang terbukti berhasil. Ditengarai, dia bahkan juga memberi keleluasaan pemain senior untuk memberi masukan dan motivasi bagi pemain lain. Terbukti ketika di UEFA Champions League, dia membiarkan John Terry 'memerintah' ketika melawan Napoli.
Sekarang tinggal saatnya Di Matteo memberi bukti. Dengan Chelsea yang sudah kelihatan tidak mudah kalah, dia punya kans meraih kepercayaan Roman Abramovic lebih karena memang prestasinya belum cukup. Masih ada Tottenham dan Barcelona, dan nama terakhir mungkin ujian terberatnya. Jika sudah berhasil mengalahkan Totenham Hotspurs pun, masih ada Liverpool menanti di final.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H