Sintia melihat kesibukan di wajah ibunya. Sedari tadi, wajah Yanti tidak berpaling dari gadget di tangannya. Menu pagi ini sangat enak, ada nasi goreng dan ayam goreng.
"Sin, mama nggak bisa antar kamu ya. Kamu naik angkot aja berangkatnya." perkataan Yanti membuat Sintia kecewa.
"Mama biasanya berangkat jam 8. Ini masih setengah tujuh, tunggu sebentar ya ma, Sintia makan sebentar lagi."
"Mama ada perlu sayang, jadi harus berangkat pagi ya. Sayang Sisin." kecup Yanti di kening Sintia.
"Dah, hati-hati ma." ujar Sintia lemas.
Bukan sekali atau dua kalinya. Gestur Yanti membuat Sintia curiga. Sudah seminggu ini harus berangkat pagi dengan dalih yang sama. Sintia tidak sama sekali berpikir yang aneh-aneh terhadap mamanya, tetapi setiap malam Yanti selalu menggenggam telepon dan tertawa. Ada apa?
Pukul 06.15, lima belas menit lagi bel sekolah berbunyi. Kebiasaannya selalu lupa membereskan buku pelajaran di malam hari. Jadi, ia lakukan setiap sehabis sarapan. Dengan sigap, Sintia memasukkan buku tulis, paket, tempat pensil, dan segala keperluan sekolahnya. Ia melupakan sesuatu yang harus dibawa setiap hari Senin.
Sepanjang lorong menuju kelasnya, para siswa memandang Sintia dengan tatapan jijik. Sintia sudah terbiasa, mereka melemparkan pandangan karena kepang dua rambutnya. Memangnya kenapa kalau kelas tiga SMP masih memakai trend rambut kuno. Mungkin banyak yang mengira, trend rambut seperti itu cocok di lingkungan SD.
Setelah upacara, teman sekelasnya mencontek jawaban PR matematika milik teman sebangkunya. Mereka sangat panik karena jam pertama akan diisi pelajaran matematika. Belum lagi, pekerjaan rumah yang belum diberikan contoh rumusnya.
"Sintia, udah ngerjain PR matematika?" dengan polos, Andera bertanya.
" Udah, lu?"