Ku ingin dia ada
Dikala duka lara
Ku ingin dia hadir
Menjawab pertanyaan takdir
Hati ini sepi tak bertuan
Adakah pangeran yang datang tanpa diundang?
Kumpulan domba awan putih berganti dengan domba kelabu yang membawa amarah besar. Terdengar halilintar dengan gegap gempita saling bertabrakan. Pecut kilat terlihat dari sebalik kaca raksasa lantai dua belas. Bukan hal yang biasa, pertunjukkan gratis ini menjadi pemancar informasi bahwa akan turun hujan dan menjadi berita kerabat sekitar. Perlahan domba hitam itu menangis melahirkan butiran air mata yang deras. Karyawan hilir mudik menuju dapur, terlihat segelas kopi tergenggam erat di tangan mereka. Virus putri tidur akan menyebar saat jatuhnya hujan dan menjadi wabah yang berbahaya bagi mereka yang mencari nafkah. Kopi satu-satunya sebagai obat penawar.
Sania masih asyik dengan puisinya. Tidak menghiraukan penawaran dari beberapa teman kantornya untuk membuat segelas ramuan kantuk itu. Pemandangan Kota Jakarta tampak mempesona dari atas ketinggian gedung. Namun, sayangnya hari ini sedang hujan. Rumah padat penduduk terlihat berselimut kabut yang tebal. Cahaya-cahaya kecil saja yang terlihat dari sorotan lampu kendaraan, semuanya buram. Indahnya Monas terlihat buram dari dalam karena kumpulan air mata hujan memenuhi dan mengguyur kaca-kaca gedung. Gondola man tidak bersusah payah membersihkan kaca agar mengilap, rahmat Tuhan yang berupa air menjadi pembawa kabar gembira bagi mereka untuk mengusir debu yang menghuni kaca besar gedung.
Suara dari bolpoin yang dibenturkan ke meja berdansa dengan suara mesin tik yang berirama serentak. Sania memandang kosong wajahnya yang terpantul di kaca besar. Ruangan kerja yang sangat nyaman. Meja kerjanya berada di pojok sebelah kiri dekat kaca. Ruangan karyawan lantai dua belas tidak ada satu titik pun dinding yang melekat erat, yang terlihat semuanya hanyalah kaca. Gedung ini beraksen kaca yang kuat dan lebar. Kosong. Pikirannya entah kemana. Bolpoinnya kembali menari di atas tentara baris yang tertata rapi dan membentuk sajak cinta kesepian yang indah. Sania menghayati sajak yang tertidur di putihnya kertas, seakan-akan dia merasakan dialah sajak itu. Wajah kosongnya masih menatap dengan anggun ke arah luar kaca.
"Dorrr!" Ratna mengagetkan Sania yang tengah melamun.
"Bikin kaget aja. Tuh lihat, jadi kecoretkan!" Sania menunjuk lembaran puisinya yang telah ternodai coretan bolpoin seperti benang kusut. Ratna tertawa melihat hasil kejahilannya kepada Sania. "Cengar-cengir. Nggak ada kerjaan lagi emang, selain mengacau hari indah gue?" Sania membenarkan posisi dan menutup buku puisinya. "Nah, lo ngapain kerjaannya nulis puisi terus?" Ratna bertanya balik. Ratna wanita berkacamata sudah menjadi sahabat karib Sania. Semenjak lulus dari sekolah menengah, kini mereka di pertemukan kembali dan bekerja di perusahaan yang sama. Sejak sekolah, Ratna memang terkenal dengan kejahilannya. Karena Sania gadis yang pendiam, sering kali menjadi sasaran empuk untuk bahan kejahilan Ratna.