Lihat ke Halaman Asli

Sri Utami

Mahasiswa

Detik Bercerita

Diperbarui: 15 Februari 2024   14:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang riang membakar jiwaku jadi mabuk kepayang. Nggak nyangka hari ini gua ketemu sama cowok gula jawa lagi. Gua seneng banget bisa seangkot bareng sama dia, ya walaupun gua sama mama. Aaaa....seneng banget.

            Tak henti-hentinya benak Sintia memutar peristiwa manis yang menimpanya di hari kamis. Tangannya dengan mahir menulis kembali setiap detik peristiwa indah yang dialaminya. Setiap hari, temannya hanya buku diary warna hijau yang menjadi teman bercerita. Setiap aksara yang indah tertidur lelap di barisan lembaran buku. Bukan berarti, Sintia tidak mempunyai teman yang siap mendengarkan jutaan ceritanya. Namun, kalau urusan hati dia memilih untuk diam dan curhat ke diary.

            Baru pertama kali menuliskan diary tentang hatinya mulai jatuh cinta kepada pria yang disebutnya sebagai gula jawa. Lembaran buku itu hampir habis tak tersisa untuk lahan menulis lagi. Pria gula jawa itu sebenarnya satu sekolah dengannya. Namun, kelas dan jurusan membelah jarak antara mereka berdua. Pria yang tidak diketahui inisialnya itu adalah anggota osis di sekolah. Desas-desus yang dia dengar bahwa lelaki itu mempunyai seorang gebetan. Di dalam kamus hidupnya boleh berharap asal tidak berlebihan.

            Abizar. Ya, nama asli dari seorang pria yang dijulukinya sebagai gula jawa itu. Hatinya sangat senang ketika salah satu teman kelas yang bernama Saci memberitahu namanya. Desir rasa senang dan kerinduan menghiasi malam Sintia. "Sin, kok belum tidur?" Yanti membuka pintu kamar. Karena panik melihat kehadiran mamanya karena lampu kamar masih menyala, Sintia cepat-cepat menutup buku.

"Eh, ada mama. Dikit lagi ma, tugasnya belom kelar." ujarnya dengan menutupi aktifitas yang dilakukannya tadi.

"Ya udah, tidurnya jangan malem-malem. Besok hari senin, kamu harus sekolah."

Dia hanya mengangguk dan tersenyum. Tangannya dengan gesit membereskan semua peralatan yang tercecer di meja belajar. Dia ingat, bahwa hari senin yang sering membuat orang-orang merinding dan memasang muka malas. Hari senin yang menyebalkan. Dia terus bergumam mengutuki hari yang tidak bersalah. Pagi akhirnya tiba membuatnya khawatir karena bangun terlambat. Di dalam angkutan umum, dia berdesak-desakan dengan orang-orang sibuk. Di depannya, terlihat seorang wanita cantik berkemeja hitam terus-menerus menatap jam tangan yang melekat manis di kulit putihnya. Sintia tak kalah panik dengan wanita itu. Matanya selalu mondar-mandir melihat setiap detik jarum jam yang semakin lama berputar cepat. Lima belas menit lagi, dia pasti akan terlambat. Kendaraan di depannya tak kunjung bergerak. Hatinya semakin gusar, dia mencoba mengirim pesan pada Saci, menanyakan keadaan hari senin di sekolahnya.

Tidak ada respon, sepertinya Saci sudah turun ke lapangan. Keresahan semakin menyelubungi dirinya. Akhir keresahannya terobati oleh angkot yang melaju dengan cepat. Dengan napas yang tersengal-sengal, dia mencoba menerobos antrian para pasukan osis yang sedang menyidak kelengkapan atribut. Kriiingg!!! Bel sekolah berbunyi. Dugaannya benar, dia pasti terlambat. Ya, sekarang dia berada di barisan para siswa yang dicap oleh guru sebagai siswa yang tidak pernah disiplin. Bukan hanya Sintia yang terlambat, banyak adik kelas dan kakak tingkat yang senasib dengannya.

Tak seperti hari senin minggu lalu, hari ini terlihat sedikit siswa yang melanggar aturan. Buruknya lagi, Sintia adalah salah satu perempuan yang berdiri di antara siswa laki-laki yang biasa dikenal Guru BP sebagai siswa pelanggar yang paten. Sedari tadi, dia hanya menunduk. Pak Umam sebagai pembina upacara tidak henti-hentinya mencemooh barisan Sintia berada. Sintia semakin malu, ketika melihat pria gula jawa itu menjadi pemimpin upacara. Posisinya sejajar dengan dirinya. "Hei, kamu yang perempuan sendiri. Kenapa kamu berdiri di depan. Pelanggaran apa yang telah kamu buat?" nada bicara Pak Umam terdengar meninggi.

"Maaf, pak. Saya terlambat." ujar Sintia hati-hati dan kembali menunduk karena malu di depannya ada Abizar.

"Jangan menunduk lagi kamu! Cepat minta maaf kepada teman-teman. Gara-gara kalian, jam pembelajaran telat lima belas menit."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline