Bahagia Saat Menderita Sakit - Mungkinkan ?
(mendalami pemahaman Epicureanisme).
Semua orang pasti mengharapkan kebahagiaan, tapi kapan kebahagian tersebut bisa dirasakan?
Sebagian orang berpendapat: bahagia apabila sudah punya pekerjaan, setelah mendapatkan pekerjaan, pendapatnya lain lagi: bahagia kalau punya motor.
Ketika sudah bisa membeli motor dari hasil tabungannya, dia berkata lain: bahagia jika punya mobil dan ketika mobil pun bisa didapatkan dari hasil jerih payahnya, masih akan berkata: bahagia jika bisa memiliki rumah dan seterusnya dan seterusnya, sampai entah kapan bisa merasakan kebahagian yang diharapkan.
Jadi sebenarnya kapan merasa bahagia itu ?
Agak sulit untuk menjawabnya, bagaimana jika pertanyaannya dibalik: "kapan manusia merasa tidak bahagia?"
Barangkali akan lebih mudah untuk menanggapinya. Ternyata sama sulitnya, bahkan mungkin lebih sulit mendapat jawabnya, karena ternyata akan banyak jawab atas pertanyaan tersebut: ketika sendiri, saat lapar, saat sakit, saat tidak bisa membeli baju, ketika harus tinggal dirumah akibat Pandemi, pada beberapa orang ketika keinginannya untuk bisa membeli rumah mewah yang diimpikannya, belum juga terwujud.
Jadi ternyata, keadaan sehat bukan jaminan untuk bisa merasa bahagia, kalau demikian apakah mungkin seseorang yang tengah menderita sakit bisa merasa bahagia ?, barangkali hanya orang yang kurang waras, yang berpendapat bahwa kebahagian juga bisa dirasakan ditengah rasa sakit yang tengah dideritanya, ketika tubuhnya lemah dan harus terbaring dirumah sakit dengan selang-selang infus dan oksigen.
Mari kita belajar dari paham Epicureanisme yang pemikirannya dibangun oleh Epicurus, filsuf yang sepanjang hidupnya mengalami berbagai penyakit, tetapi penyakit yang dirasakan itu tidak membuatnya patah semangat untuk selalu merasa bahagia.
Melalui ketulusan hati dalam menjalin pertemanan dengan para sahabatnya, Epicurus mendapatkan kekuatan dan keteguhan untuk bisa merasa bahagia ditengah rasa sakitnya.