Lihat ke Halaman Asli

Senyumlah, Wahai Sahabat!

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

‘jdi iri liat status temenku pada mudik ke kota berirama pwrjo...smentara kami malah lebaran yg sgt memprihatinkan di perantauan... tp life must go on,forever happen..smga cma kali ni episode lebaran yg buram...episode hdp yg harus aq lalui...’

Begitulah status yang ditulis oleh sahabat saya pagi tadi. Wowok sudah saya kenal sejak kecil. Maklum kami bertetangga. Sekolah pun bareng dari TK, SD, SMP, sampai SMA. Berkat facebook, kami terhubung kembali setelah lama tidak berjumpa. Sekarang dia tinggal di pekanbaru, riau.

Miris hati saya membaca kabar tersebut. Tampaknya Wowoklagi mengabarkan rangkaian kisah hidupnya. Saya sebut rangkaian karena ada benang merah yang menghubungkan setiap status facebook-nya. Pekan lalu dia menulis tentang kegundahannya sebagai wong cilik saat berhadapan dengan pemegang kekuasaan. Sepertinya lagi ada masalah di lingkungan tempat kerjanya. Beberapa hari kemudian dia menulis tentang tunjangan hari raya (THR) yang belum dibagikan. Katanya akan dibagikan setelah lebaran. Bahkan gaji bulan terakhir pun terlambat dibayarkan. “Mau makan apa?” gugatnya. Statusnya yang kemarin berisi rencananya untuk resign dari tempat kerja yang dinilai sudah tidak kondusif.

Di penghujung ramadhan, sahabat saya justru merasa gundah. Harapannya untuk membahagiakan azka, anak semata wayangnya, di hari lebaran ini belum kesampaian. Barangkali sang anak memang tidak menuntut dibelikan baju baru atau rekreasi ke tempat pelesiran. Akan tetapi, sebagai orang tua, Wowok tampaknya ingin membawa kebahagiaan bagi azka seperti kebahagiaan yang dirasakan teman-teman sebayanya.

Perasaannya semakin gundah ketika menyimak status teman-teman yang berencana mudik ke kampung halaman. Sebagai perantau, dia sangat ingin menikmati indahnya suasana lebaran bersama sanak saudara. Sayang, keinginan tersebut harus dipupus saat ini. Hilangnya kesempatan itu yang menambah beban hatinya.

Walau keadaan begitu memprihatinkan, rupanya sahabat saya tetap memiliki optimisme. ‘smga cma kali ni episode lebaran yg buram...Alhamdulillah, Wowok masih yakin pada janji yang Allah tegaskan. Sesungguhnya di balik kesukaran terdapat kemudahan. Beratnya ujian menandakan semakin dekatnya pertolongan dari Allah.

Bisa jadi tidak hanya sahabat saya yang tengah merasa resah menjelang Idul Fitri. Mungkin karena keadaan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Akibatnya, kita tidak bisa berkonsentrasi untuk mengakhiri ramadhan dengan indah. Indah yang saya maksud ialah kondisi kita berhasil mengoptimalkan diri untuk mendekat kepada Allah, sehingga kita termotivasi untuk me-ramadhan-kan hari-hari mendatang. Tetaplah sabar, sahabat. Senyumlah untuk kemenangan besar atas hawa nafsu yang telah engkau tundukkan.

Ya Allah, kabulkanlah harapan mereka.

Tunjukkan jalan terang baginya untuk mengatasi setiap masalah yang tengah dihadapi.

Jangan biarkan mereka larut dalam nelangsa.

Singkirkan mendung tebal yang menggantung di langit batinnya,

agar mentari Idul Fitri mengantarkan kebahagiaan dalam bilik jiwanya. Amin.

Taqabalallahu minna wa minkum

Minal aidin wal faizin

Selamat hari raya Idul Fitri

Mohon maaf lahir dan batin

***

Pamit mudik dulu, assalamu'alaikum .... :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline