Lihat ke Halaman Asli

28 Ramadhan 1428 H

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hapeku berbunyi. Nada dering M35 melonkuterdengar begitu keras dinihari ini. Nama istriku terpampang di layarnya.

“Assalamu’alaikum,” sapaku.

“ Waalaikumussalam,” sahut istriku. “Yah, cepat pulang. Sekarang.”

“Ada apa?” tanyaku sambil melirik jam dinding. Jam 02.00.

Suara orang membangunkan sahur dari masjid pun belum terdengar.

“Bapak. Bapak.” Jawab istriku. Nada suaranya sedikit bergetar.

“Hmm. Apa nggak bisa nunggu sampai besok? Ini kan hari terakhir masuk kerja,” tawarku.

“Enggak usah. Pulang sekarang saja,” jawab istriku.

“Oke, aku kemas-kemas dulu,” sahutku.

Setelah menjawab salam, aku segera mencuci muka. Ada apa dengan Bapak? Ini pertanyaan yang menggayuti pikiranku. Nampaknya kabar penting hingga aku diharuskan pulang sekarang. Padahal aku berencana mudik besok pagi. Aku akan naik motor sendirian karena istri dan anakku sudah mudik awal pekan kemarin. Tiba-tiba ada kabar tentang Bapak dari rumah. Sayangnya, istriku tidak menjelaskannya tadi. Sikapnya kali ini terasa aneh. Yang kutahu, dia orang yang rasional dan mampu bersikap tenang.

Sambil makan sahur aku mencoba menghadirkan Bapak dalam ingatanku. Beberapa bulan lalu Bapak kulihat sehat-sehat saja. Memang sudah dua tahun Bapak sakit stroke. Serangan itu datang menjelang acara pernikahanku. Dari berbagai pengobatan yang dilakoni, alhamdulillah Bapak sudah bisa melakukan aktivitas secara mandiri. Walaupun separuh badan sebelah kanan lumpuh, Bapak tetap bisa menjalani hari-hari dengan baik. Sayangnya, lisan Bapak masih terasa kaku. Sering kali beliau hanya tertawa melihat kami yang tidak paham dengan kata-kata yang beliau ucapkan.

“Bapak kemarin masuk angin. Sekarang hanya tiduran. Makannya agak susah, makanya Pak Dokter Syamsul memasang infusbuat Bapak. Tapi alhamdulillah sekarang sudah membaik.” Begitu kabar terakhir yang kuterima dari Ibu pertengahan ramadhan kemarin. Sekarang aku harus segera pulang. Ada apa dengan Bapak?

Selesai sahur, aku bergegas merapikan rumah. Maklum, akan ditinggal mudik sepekan. Kalau dirapikan sekarang, besok waktu balik dari kampung kondisi rumahku tidak berantakan. Beberapa potong pakaian aku jejalkan ke dalam tas punggung. Helm, kacamata, slayer, pelindung dada, kaus tangan, sepatu, dan jaket aku siapkan. Sepucuk surat izin tidak masuk kerja segera kutulis. Hari ini aku seharusnya masuk kerja yang terakhir sebelum libur lebaran.

Pukul 4 pagi, aku siap meluncur. Setelah mampir di pos satpam untuk menitipkan surat izin, motor tuaku kupacu kencang. Dua setengah jam waktu yang kuperlukan untuk menempuh jarak Klaten – Purworejo. Namun aku berusaha sampai di rumah secepatnya. Apalagi kondisi jalan masih cukup sepi.

Satu jam kemudian aku sampai di Gamping (ujung ring road selatan Yogyakarta). Jalanan menjadi lebih sempit. Namun, iring-iringan kendaraan yang akan memasuki Yogya semakin panjang. Di sebuah masjid selepas Gamping, aku tunaikan sholat subuh.

Kembali aku memacu kendaraanku. Kembali pikiranku terusik dengan pertanyaan tentang kondisi Bapak. Sangat mungkin sakit Bapak menjadi lebih parah daripada kemarin. Mungkin saja Pak Dokter Syamsul –teman baik Bapak- semalam terpaksa dibangunkan untuk memeriksa kondisi Bapak. Mungkin dari hasil diagnosis, Pak Dokter menyarankan untuk membawa Bapak ke rumah sakit. Begitulah penjelasan yang coba kurangkai untuk menjawab pertanyaanku sendiri. Akan tetapi, bagaimana kalau kondisi Bapak lebih buruk daripada itu? Tanpa bisa kukendalikan, pertanyaan tadi menyusup pula ke dalam benakku. Ah, tiba-tiba seperti ada yang merenggut hatiku. Ya Allah, mohon kesembuhan bagi Bapak agar beliau ikut merayakan kebahagiaan di hari raya.

Aku berusaha memupus bayangan terburuk itu dengan berdzikir. Subhanallah walhamdulillah walaa ilaha illallah wallahu akbar. Lisanku terus melafalkan puji-pujian bagi Allah. Inilah salah satu nasihat yang pernah beliau sampaikan padaku. “Jika kamu berkendaraan, jangan lupa berdzikir. Dzikir membuat hati kita tenang. Kamu pun tidak akan kehilangan kewaspadaan di jalan.”

Pengalaman berdzikir saat mengendarai motor membuatku merasaAllah menyertai perjalananku. Pikiranku menjadi tenang. Perlahan tapi pasti, pertanyaan itu tidak lagi menghantui pikiranku. Yang muncul di hatiku justru sugesti positif untuk menghadapi situasi di rumah nanti. Seandainya Bapak sekarang dirawat di rumah sakit, aku yakin ini cara terbaik untuk membuat kondisi kesehatan Bapak pulih.

Sebaliknya, seandainya Bapak tiada pun aku harus tetap bahagia. Mengapa demikian? Karena Bapak meninggal di bulan ramadhan. Ini bulan yang penuh kemuliaan. Insya Allah beliau khusnul khotimah. Hatiku bergetar saat mengamini kemungkinan terakhir tadi. Tanpa terasa sejalur air bening membasahi pipiku yang tirus.

Satu setengah jam kemudian kulihat gerbang masuk desaku, Lugosobo. Hei, ternyata anakku lagi bermain di dekat gerbang itu. Rupanya dia bersama istriku dan adik bungsuku. Senyuman lega terpancar dari wajah-wajah mereka. Alhamdulillah, hatiku pun merasa senang. Tampaknya kekhawatiranku tidak terjadi.

“Pulanglah dulu. Nanti kami menyusul,” pesan istriku.

Gas motor segera kutarik. Masih ada 100 meter lagi jarak yang harus kutempuh untuk sampai di rumah. Tiba-tiba jantungku serasa dicopot. Bendera warna putih menggantung di pagar halaman. Aku langsung paham yang sebenarnya terjadi.

Bapak menyambutku di ruang tamu, terbaring di atas meja panjang. Secarik kain batik menutupi muka dan sekujur badan. Sebuah senyum kulihat tersungging di wajah beliau yang damai. Seolah bapak menyapaku, ”Kamu sudah sampai, le? Tidak ada halangan di jalan, kan?”

Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun. Dalam sholat jenazah yang kutegakkan, aku berusaha menangkap makna setiap bacaannya. Kurendahkan diriku dalam lisan yang mengagungkan kebesaran-Mu. Kuhayati permohonan petunjuk yang terangkai dalam ayat-ayat al Fatihah. Kusertakan hati dalam setiap kata yang memohon ampunan bagi Bapak.

Ya Allah, berilah ampunan bagi Bapak. Beliaulah yang telah mengukir jiwa dan raga kami.

Ya Allah, limpahkanlah kasih sayang-Mu pada Bapak. Sungguh aku menjadi saksi atas besarnya kasih sayang Bapak kepada buah hatinya.

Ya Allah, maafkanlah segala kesalahan Bapak. Selama ini Bapak telah berlapang dada menerima segala tuntutan dan memaklumi setiap tingkah polah kami.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline