Lihat ke Halaman Asli

N5M: Nostalgia Nyantri di Pondok Madani

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negeri 5 Menara


Novel setebal 400 halaman karya A. Fuadi ini cukup lama mengusik rasa ingin tahuku. Apalagi mengingat rekor cetaknya yang hanya berselang bulan. Aku membayangkan ini seperti halnya Laskar Pelangi dan kisah-kisah berikutnya. Tapi setelah membaca Negeri 5 Menara, aku merasa kecewa.

Negeri 5 Menara berkisah tentang masa nyantri si Alif. Dia anak cerdas jebolan sebuah MTs di tepi Danau Singkarak. Cerita berawal dari kekecewaan Alif yang harus memenuhi keinginan emaknya untuk bersekolah di madrasah. Padahal sebenarnya Alif sudah berencana untuk sekolah di SMA agar bisa meneruskan ke perguruan tinggi. Dalam impiannya, dia ingin menjadi Habibie -sebuah profesi yang mentereng hasil imajinasinya tentang sosok menristek di era Orba itu. Akhirnya, sebagai jalan tengah, Alif memilih mondok di Pondok Madani (PM) di Jawa Timur.

Di Pondok Madani, Alif membangun dunia barunya. Bersama 4 orang teman yang berasal dari berbagai daerah, Alif terlibat aktif dalam kegiatan pondok. Kita akan menjumpai paparan perjuangan Alif cs merintis harian yang beredar di lingkungan intern pondok. Misalnya ketika dia harus bisa menyelesaikan satu mission impossible dalam rangka kunjungan presiden ke pondok madani. Kru Kabar Madani berniat membuat satu edisi khusus yang memuat pidato presiden lengkap dengan fotonya dalam waktu singkat. Sanggupkah mereka menyodorkan edisi terbaru harian itu tepat ketika presiden turun dari panggung?

Ada juga kisah tentang upaya mempersiapkan satu pagelaran seni yang spektakuler. Sudah menjadi tradisi di PM untuk menggelar pentas seni yang harus disiapkan oleh murid-murid kelas 6. Setiap angkatan berusaha membuat konsep yang lebih menarik daripada angkatan sebelumnya. Nah, Alif dan kawan-kawan mencoba mengangkat kisah perjalanan Ibn Batutah berkeliling dunia. Hasilnya luar biasa. Mereka mendapat apresiasi yang besar dari keluarga besar PM dan para tamu undangan.

Muara dari segala romantisme hidup di PM ialah imtihan nihai. Ini ujian akhir yang menguras tenaga para santri kelas 6. Berbulan-bulan mereka membaca tumpukan buku dari kelas 1 hingga 6 agar bisa menghadapi ujian. Makan, tidur, belajar itu berlangsung dalam kamp konsentrasi - istilah Alif untuk menyebut aula besar yang menjadi tempat karantina murid kelas 6.

Persiapan panjang itu memang sepadan dengan masa ujian yang berlangsung satu bulan. Tentu saja tidak mudah menjaga konsentrasi belajar dan stamina fisik agar berhasil melampaui imtihan nihai. Apalagi ada 2 kejadian yang membebani pikiran Alif. Baso, sobat Alif dari Sulawesi, memilih pulang kampung agar bisa merawat nenek semata wayangnya yang sakit keras. Dia tidak ikut imtihan nihai. Sementara Randai, teman dekat waktu MTs, berkirim kabar bahwa dirinya kini berhasil masuk ITB. Alif kembali teringat dengan obsesinya menjadi Habibir. Pikirannya semakin kalut karena ijazah PM tidak diakui untuk melanjutkan belajar di perguruan tinggi formal di indonesia. Sementara emak dan bapak memintanya bertahan mengikuti ujian akhir. Mereka menolak keinginan Alif untuk keluar dari PM agar bisa mendaftar di UMPTN. Bagaimana sikap yang dipilih Alif? APakah dia jadi ikut imtihan nihai? Mungkinkah dia lulus dalam ujian akhir yang sangat berat itu?

Anda akan menemukan semua jawabannya dalam novel Negeri 5 Menara ini. Dengan gaya bercerita ringan, kita tidak perlu mengerenyitkan dahi untuk memahami ceritanya. Tahu-tahu sudah sampai di akhir buku setebal 400 halaman ini. Tentu ini suatu kelebihan sekaligus kekurangan dari novel tersebut. Padahal tema yang diangkat bagi saya sangat menarik: perjuangan menuntut ilmu di sebuah lembaga pendidikan nonformal. Penulis sangat mungkin menyisipkan dialog hati agar menyentuh kesadaran para pembaca. Jika ini dilakukan, novel tebal ini akan menjadi kisah yang menginspirasi bagi banyak pihak di tengah carut-marutnya pendidikan moral di negeri kita.

Namun saya salut dengan sikap sang penulis. Novel ini diniatkan oleh A. Fuadi sebagai ibadah sosialnya. Sebagian royalti novel ini akan disumbangkan untuk membangun komunitas Menara, sebuah LSM yang peduli pada kepentingan rakyat kecil. Barangkali ini yang menjadi penyebab banyak tokoh bersedia memberi endorsement untuk novel ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline