Lihat ke Halaman Asli

Awas, Racun Teknologi Mengintai Anda!

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nokia C3 yang konon bikin heboh. Nokia C3 terjual 600 buah dalam waktu empat jam di Bali. Begitu sekilas judul yang saya baca di Kompas Sabtu lalu (5 Juni 2010). Sebenarnya harga Nokia C3 dibandrol Rp1.159.999 di toko ritel Nokia yang resmi mulai 6 juni 2010. Namun pada hari pertama dipasarkan, Nokia langsung memberi diskon Rp260.000,00. Penawaran khusus ini berlaku sabtu itu mulai pukul 10.00 hingga 22.00. Penjualan khusus ini dilakukan di 9 kota, yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Yogyakarta, Palembang, Makassar, Banjarmasin, Denpasar, dan Semarang.

Yang lebih ‘membanggakan’ lagi, Indonesia terpilih sebagai negara pertama perilisan Nokia C3. Pemilihan tersebut bukan tanpa alasan. Masyarakat Indonesia tercatat memiliki aktivitas tinggi dalam menggunakan jejaring sosial Facebook. Kita tentu akan menyambut baik kehadiran gadget yang memenuhi kebutuhan bersosialita. Nah, sampel hasil penjualan Nokia C3 tersebut membenarkan asumsi pabrikan alat telekomunikasi dari Finlandia tadi.

Sebenarnya antusiasme warga Indonesia terhadap teknologi terlihat semakin jelas akhir-akhir ini. Tidak hanya pada kemajuan teknologi komunikasi. Coba saja anda perhatikan acara pameran teknologi yang lain. Misalnya, pada pameran komputer yang semakin rutin digelar. Perhatikan belanjaan para pengunjungnya. Notebook keluaran terbaru jadi bawaan. Kamera digital dengan MP terbesar laris diserbu. I-pad yang lagi gencar ditawarkan pun sudah banyak yang menenteng.

Mengapa kita bersikap begitu antusias terhadap perkembangan teknologi itu? Apakah kita memang benar-benar memerlukannya? Barangkali kita perlu melongok isi file notebook tersebut. Jangan-jangan cuma ada berkas unduhan video (mirip) Ariel-Luna atau video (mirip) Ariel-Cut Tari. Kalau seperti itu, sebenarnya kita telah menjadi korban iklan demi mengejar gengsi dan prestise.

Saya yakin akan lahir analisis yang cukup panjang untuk bisa memahami gaya hidup ini. Namun, saya tertarik dengan lontaran Pak Didit Chris Prawirokusumo (mistergrid). Dalam workshop desainer grafika yang diadakan di tempat kerja saya (8-10 Juni 2010), praktisi dan pemerhati desain grafis itu melontarkan adanya gejala keracunan teknologi. Menurut mistergrid –ini nick name Pak Didit- orang yang keracunan teknologi bisa dikenali dari gejala-gejala berikut.


  1. menyukai hal-hal instan.
  2. takut dan sekaligus memuja teknologi.
  3. menyukai teknologi sebagai mainan.
  4. menganggap marah dan kekerasan sebagai hal yang wajar dan normal.
  5. tidak dapat membedakan hal yang asli dan palsu.
  6. kehidupan sosial tidak ada.
  7. minimnya pesan edukatif dan religius.
  8. menghilangnya peradaban kultural.
  9. meredupnya esensi mata hati dan perasaan.
  10. semaraknya friksi karena derivasi referensi kompetensi dengan persepsi.
  11. sering terjadi kekeliruan dalam menggunakan piranti kerja karena kurang memahami cara kerjanya.
  12. hilangnya kepercayaan diri si pengguna.

Tanda-tanda keracunan ini perlu kita perhatikan. Tujuannya supaya kita tidak (lagi) diperbudak oleh teknologi. Ingatlah, teknologi itu budak yang baik, tetapi dia itu majikan yang sangat buruk. Itu yang mistergrid tandaskan padaku.

foto: http://adith38.files.wordpress.com/2010/04/041610_1412_nokiac3qwer1.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline