[caption id="attachment_157287" align="alignleft" width="300" caption="Sekolah jembatan emas mobilitas sosial."][/caption]
“Bapak dan ibu tidak bisa mewariskan harta. Karena itu mumpung kamu masih bisa bersekolah, belajarlah yang benar. Bapak yakin ilmu itu akan bermanfaat bagimu kelak.”
Pesan bapak itu masih melekat kuat di benak saya. Pesan tersebut mungkin mencerminkan harapan banyak orang tua dari kalangan tidak berpunya terhadap anaknya. Mereka memimpikan agar si anak tidak terjerat dalam keterbatasan seperti yang dialaminya sekarang. Karena tekad tersebut, banyak orang tua yang legawa berujar, “Biarlah segala duka lara ini aku tanggungkan asal engkau mendapatkan yang lebih baik, anakku.”
Mengapa muncul harapan seperti itu? Ternyata sebagian besar masyarakat meyakini bahwa pendidikan merupakan jembatan emas untuk melakukan mobilitas sosial. Melalui pendidikan, seseorang dapat naik ke jenjang sosial yang lebih tinggi. Dengan memasuki kelas sosial yang lebih tinggi, sang anak akan memiliki penghidupan yang lebih baik. Sungguh ini bukan impian di siang bolong. Kita tentu bisa menemukan contoh orang yang berhasil melakukan mobilitas sosial vertikal tadi.
Mungkinkah memupuk impian tersebut saat ini? Ketika melihat realitas dunia pendidikan Indonesia, rasanya tidak semua orang tua bisa mendendangkan impian tersebut ke telinga anaknya. Memang konstitusi Indonesia mewajibkan negara untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar fakir miskin dan anak-anak telantar. Memang UU tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur agar setiap warga negara mendapatkan pendidikan dasar 12 tahun. Memang pemerintah berusaha keras untuk meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN. Akan tetapi, justru dari landasan hukum tersebut melahirkan sejumlah kebijakan pendidikan yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Simak saja fenomena kastanisasi pendidikan yang membagi sekolah menjadi tiga. Jenjang tertinggi ialah sekolah bertaraf internasional (SBI). Di bawahnya terdapat rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Sementara kasta terendah ialah sekolah reguler. Siapa yang bisa masuk ke SBI dan RSBI? Tentu hanya siswa dengan kecerdasan tinggi dan kemampuan finansial kuat. Berbagai kegiatan dan fasilitas yang diberikan menjadi alasan utama mahalnya biaya masuk dan biaya bulanan di dua sekolah ini. Tahukah anda berapa kisaran biaya-biaya tersebut? Kompas edisi 3 Juni 2010 menyebutkan, “Biaya masuk di sekolah-sekolah berstatus RSBI umumnya 8 juta hingga 10 juta rupiah, sementara biaya bulanan Rp 450.000,00 hingga Rp850.000,00.” Tentu orang tua harus merogoh kocek lebih dalam untuk membiayai anaknya yang bersekolah di sekolah berstatus SBI.
Para siswa di kedua sekolah tersebut belajar menggunakan metode pembelajaran dwibahasa (bahasa Indonesia dan Inggris). Sekolah akan menghadirkan guru asing (native teacher) untuk mengajar mata pelajaran matematika, sains, dan bahasa Inggris seminggu sekali. Penerapan metode tersebut tentu menambah mahal biaya sekolah di sana.
Padahal menurut Musni Umar, Ketua Komite SMA Negeri 70 Jakarta, penerapan metode tersebut dinilai mubazir. Alasannya karena orientasi dan mimpi mayoritas siswa SMA setelah tamat sekolah di dalam negeri adalah melanjutkan pendidikan ke UI, UGM, ITB, dan lain-lain. Mereka tidak berpikir untuk bersekolah ke luar negeri. Di sini terdapat asumsi yang keliru bahwa Sekolah Bertaraf InternasionaI harus mengajarkan pelajaran dalam bahasa Inggris. Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, dan Korea menggunakan bahasa nasional mereka sebagai bahasa pengantar. "Sebaiknya sekolah bertaraf internasional perlu dikaji ulang. Sepatutnya kita berkiblat ke tujuan sistem pendidikan nasional kita, bukan ke sistem luar macam Cambridge," ujar Musni (Kompas, 25 april 2010).
Memang ada ketentuan untuk menyisihkan 20% kuota bagi siswa berprestasi dari golongan ekonomi lemah. Namun pada praktiknya,sekolah akan secara bertahap mengurangi prosentase tadi supaya bisa menutup besarnya biaya operasional. Tidak mengherankan jika sebagian warga menyimpulkan pemerintah berperilaku seperti di zaman penjajahan Belanda. Salah satunya Utomo Dananjaya, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina. "Yang kaya diutamakan, yang miskin tidak diperhatikan. Perlakuan membedakan ini diskriminasi," tuturnya (Kompas, 3 Juni 2010).
Lantas, benarkah sekolah reguler merupakan pilihan terbaik bagi mayoritas rakyat kecil di Indonesia? Memang sumbangan pengembangan pendidikan (SPP) telah dibayarkan oleh pemerintah. Mereka yang belajar di sekolah negeri berhak mendapatkan fasilitas tersebut. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) pun dibagikan pada setiap siswa. Namun, pemikiran komersial yang merasuk ke dalam benak para penyelenggara pendidikan mendorong mereka menempatkan wali murid sebagai objek bisnis. Ada saja celah yang dapat dimasuki untuk menarik dana dari orang tua. Semuanya dibungkus dengan dalih ‘demi kemajuan pendidikan putra-putri anda sendiri’. Tidak heran jika muncul keluhan, “Katanya sekolah gratis. Kok masih bayar?”
Ketika orang tua gagal memenuhi segala pungutan tersebut, akhirnya anaklah yang menjadi korban.Di tahun 2007 saja, lebih dari 1,1 juta anak terpaksa memilih berhenti bersekolah di Indonesia. Artinya, setiap menit ada 4 siswa yang putus sekolah waktu itu. Berdasarkan kenyataan empiris di lapangan, diperkirakan jumlah anak putus sekolah masih akan meningkat.
Ketula-tula ketali. Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa itu rasanya tepat menggambarkan kondisi orang tua murid sekarang. Bayangkan saja. Walaupun mereka sudah menangis batin melihat anaknya putus sekolah, orang tua masih bisa terancam membayar denda pada pemerintah. Mengapa hal itu terjadi? Hal ini bisa terjadi jika masing-masing pemerintah daerah menyetujui aturan seperti yang diajukan anggota DPRD Kota Depok. Mereka menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Sistem dan Mekanisme Penyelenggaraan Pendidikan. Raperda tersebut mengatur sanksi bagi orangtua yang lalai menyekolahkan anaknya berupa denda. Jika secara sah dan meyakinkan orangtua sengaja menelantarkan hak anak untuk menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar 12 tahun, yang bersangkutan dapat dikenai tuduhan perdata dengan hukuman denda maksimal 10 kali lipat biaya pendidikan anak pada masa penelantaran pendidikannya. Namun sanksi tidak serta-merta diterapkan kepada setiap orangtua yang tak bisa menyekolahkan anaknya. Penjatuhan sanksi tadi akan mempertimbangkan kemampuan orangtua siswa (Kompas, 23 April 2010).
Sungguh ironis dunia pendidikan kita. Pemerintah seperti menutup mata tentang keadaan rakyat. Bukankah kebanyakan kasus anak putus sekolah disebabkan karena orang tua tidak mampu membayar biaya sekolah? Jangankan untuk membayar aneka pungutan tadi, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja semakin banyak yang kerepotan. Kondisi ini diperparah dengan menyempitnya lapangan pekerjaan dan banyaknya PHK. Sekarang mereka yang sudah sekarat masih juga dijerat. Bagaimana mungkin pemerintah membuat kebijakan yang tidak berpihak pada mayoritas rakyat? Masihkah pemerintah menjadi abdi masyarakat seperti yang digembar-gemborkannya? Tolong, jangan pupus mimpi kami!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H