Ternyata kerja editor tidak sebatas mengedit naskah tulisan orang lain. Pada kondisi tertentu, editor justru menjadi ghost writer. Alih profesi ini biasa terjadi menjelang penilaian buku oleh Badan Standardisasi Nasional Pendidikan.
Tentu saja tidak tepat jika kita menyimpulkan bahwa editor sama dengan ghost writer. Kedua profesi itu berbeda. Editor digunakan untuk menyebut orang yang bertugas menyunting draft buku serta menata kalimat agar pembaca lebih mudah memahami isi buku. Sementara itu, ghost writer digunakan untuk menyebut orang yang bekerja menyusun tulisan (buku, artikel, naskah pidato) bagi orang lain. Ketika tulisan itu diterbitkan ke muka publik, nama yang tercantum ialah nama orang yang memesan tulisan itu. Biasanya, ghost writer bekerja berdasarkan pemikiran dan data yang dimiliki si pemesan.
Ada juga ghost writer yang hanya ‘pinjam nama’ tokoh atau pakar. Ide, pemikiran, dan literatur tulisan dicari sendiri oleh si penulis bayangan. Selanjutnya, setelah naskah jadi, dia cantumkan nama tokoh atau pakar tersebut sebagai penulisnya. Jadi, sesungguhnya kerja editor itu berbeda dengan kerja ghost writer. Editor cukup menyunting naskah karya penulis. Dia bertanggung jawab atas keterbacaan naskah tersebut. Maksudnya, editor harus menjamin bahwa buku tersebut akan dapat dipahami pembaca dengan mudah. Itu saja.
Namun, pada kenyataannya kerja editor tidaklah mudah. Apalagi kerja menyunting naskah buku yang ditujukan untuk dunia pendidikan, seperti buku teks pelajaran dan buku pengayaan. Selain harus memahami tata bahasa Indonesia, editor juga dituntut memahami standar isi dan standar kompetensi. Inilah kurikulum yang sudah digariskan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Nah, di sini permasalahan muncul. Sering naskah yang dikirim oleh penulis luar belum memenuhi tuntutan kurikulum tadi. sementara editor dituntut untuk merampungkan buku tersebut dalam waktu yang singkat. Editor cukup lega jika penulis buku itu mau dan mampu bekerja sama untuk memperbaiki naskahnya. Kalau menjumpai penulis yang terlalu sibuk dengan pekerjaan pokok atau enggan memperbaiki dengan alasan ‘tidak sanggup’, editor harus mau berjibaku memperbaikinya.
Pagi sampai siang browsing materi. Selepas makan siang, susun data hasil surfing dan memasukkannya ke dalam naskah. Ibarat pekerja bangunan, editor harus menyusun ulang tatanan batu bata materi agar menjadi bentuk bangunan buku yang diinginkan. Malam haripun kerja tidak berhenti. Supaya mata tetap melek, kopi dan cemilan menjadi teman kencan. Dini hari tubuh sudah menuntut istirahat. Bagi yang sudah berkeluarga, mereka memilih pulang ke rumah. Sedangkan yang masih bujang asyik-asyik saja tidur di kantor: gelar tikar, setel lagu lembut (kalau aku pilih alunan sax Kenny G atau piano Richard Clayderman), dan kerudungan sarung. Ritme kerja seperti ini dapat berlangsung berhari-hari. Tidak heran jika tampilan editor saat itu terlihat kuyu, kecapekan, dan susah senyum. Pokoknya njelehi, deh.
Kerja spartan semacam ini berakhir jika dummy buku telah jadi. Ini prototype buku yang akan dinilaikan ke BSNP. Lega rasanya jika berhasil menyelesaikan etape marathon ini. Semua perasaan tidak nyaman langsung lenyap. Akan tetapi, perasaan lega itu tidaklah lama. Ketika melihat daftar susunan tim produksi, biasanya editor merasa masygul.
Mengapa? Karena yang tertulis sebagai orang yang menulis buku itu tetap penulis awal. Sementara dia hanya tercantum sebagai editor. Padahal de facto yang bekerja menyusun ulang buku tersebut ialah dirinya. Dia telah memutar otak untuk membuat pola buku yang menarik. Dia juga yang telah mengerahkan segala daya untuk mewujudkan buku itu agar memenuhi segala persyaratan BSNP. Namun, kelak ketika buku itu dinyatakan lulus penilaian dan dibeli pemerintah sebagai buku sekolah elektronik (BSE), kontribusinya hanya tercatat sebagai editor. Penulislah (notabene tenaga pendidik di instansi pemerintah) yang akan mendapatkan poin untuk menjangkau jenjang kepangkatan yang lebih tinggi.
Berkali-kali aku mengalami kondisi seperti tadi. Berkaca dari pengalaman tersebut, aku menyimpulkan bahwa statusku memang editor, tetapi kerjaku sebagai ghost writer. Anda tertarik tantangan ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H