Siapa yang tak Bangga Berwisata Di Indonesia? Dari Aceh hingga Papua, semua penuh pesona. Baik pantai, pegunungan nan sejuk, aneka pemandangan sawah hingga budaya masyarakatnya menjadi satu kesatuan yang membuat takjub para wisatawan yang bertandang. Belum lagi keramahtamahan serta aneka kuliner nikmat yang turut membalut seolah tak pernah pudar di lekang zaman. Alam Indonesia menjadi anugerah semesta yang menjadi kepingan surga yang mampu mengurai penat menjadi seimbangnya hidup yang penuh syukur nikmat.
Sayangnya, tak jarang tanpa sengaja kita mencederai alam raya saat berwisata. Hal sepele, sekedar membuang sampah sembarangan hingga mencipta kegaduhan yang tak sesuai dengan norma kearifan lokal. Ibarat setitik nila, rusak susu sebelanga. Dari hal kecil nyatanya jika dibiarkan begitu saja dampaknya akan sangat signifikan menganggu keseimbangan lingkungan.
Saya pernah menjumpai cerita nyata yang membuat saya terpana. Sesaat kemudian apa yang saya lihat dan dengar dengan mata telinga saya menjadi sebuah pelajaran berharga, bahwa berwisata bukan sekedar gaya hidup untuk sebuah labeling kebanggaan sesaat. Melainkan harus membawa dampak jangka panjang, berkelanjutan dan siap dengan konsekuensi menjaga lestarinya alam yang memanjakan mata, hati dan fikiran.
Sebagai pejalan semesta, saya teramat bersyukur kerap diberi kesempatan mengunjungi kepingan surga alam pulau dewata. Sebut saja Pantai Lovita di Buleleng, Kawasan Danau Bedugul di Tabanan, Danau dan Area Gunung Batur di Kintamani, hingga bentang persawahan yang menawan baik di Jatiluwij hingga Bukit Surga Sibetan. Tak terkecuali landscape Pura Lempuyang dan desa Panglipuran Bangli. Rasanya itu belum cukup bagi saya untuk terus menikmati anugerah alam raya sebagai sumber inspirasi untuk hidup yang lebih berkualitas.
Suatu ketika saya berkesempatan mengunjungi Pura Lempuyang di Karangasem Bali. Antrian panjang untuk berfoto dengan gapura otentik yang menjadi ikon ternama menjadi ruang interaksi antar pengunjung. Tiba-tiba ada wisatawan asing yang berulang kali berkata:
"Excuse Me",
Saya yang berada di baris depan menengok ke belakang, kira-kira apa gerangan yang bisa saya bantu. Keramahtamahan kita sebagai orang Indonesia selalu saya perlihatkan kepada mereka dengan memberi senyum, sekedar menyapa halllo .Oleh karenanya saya tidak canggung untuk sekedar berinteraksi dalam percakapan bila memungkinkan. Hal itu sebagai sebentuk tanggung jawab sosial yang acapkali harus diperlihatkan.
Dari perkataan yang berulang itu saya mendapati sebuah kejadian sederhana, seseorang menunjuk puntung rokok yang masih menyala yang dibuang oleh wisatawan asing lainya. Dalam bahasa inggris yang aksen yang khas mereka sedikit berdebat. Saya terperanjat, ingin bermaksud melerai namun aksi nyata lebih utama.