Cerita ini bermula dari sebuah warmindo, tongkrongan elit menengah ke bawah kekinian dengan menu sehat di kantong berupa mie rebus/goreng lengkap. Irisan cabe rawit, telur dan beberapa lembar sawi hijau sejatinya hanyalah penambah kesan estetik agar tak kalah nikmat dengan mie dari dunia sebelah. Sebut saja mie setan, mie iblis dan sebagainya.
Saat sahur menjelang ramailah warung berukuran pas foto 4 X 6 yang dikelola oleh Aa dari Kuningan. Pada umumnya pelanggan tetap yang betah berlama-lama dengan alasan menunggu waktu subuh tiba adalah mereka pengguna setiap paylatter konvensional. Kelompok sosial bergaya hidup makan dulu bayarnya kapan-kapan sejatinya sudah ada sejak dulu kala. Jauh sebelum munculnya ponsel pintar dengan aneka aplikasi keuangan digital. Mereka bukanlah pemilik akun aplikasi berbasis nomor telpon. Cukup menyebutkan nama, maka buku panjang bersampul batik menjadi alat pencatat sistem kasbon oleh si penjaga warung.
Adalah Bawon, lelaki yang tak lagi muda namun memiliki semangat sekelas menpora. Beberapa olahraga kelas berat dia kuasai. Dari mulai mengangkat karung beras di pasar mangga dua, mengayuh ojek sepeda di bilakangan kota tua, hingga berjalan kaki pulang pergi ke kontrakannya di kawasan Jakarta Utara. Semua dia lakoni dengan penuh keyakinan meski warna kulit kian legam.
Lelaki yang berasal dari turki (turunan kidul) itu sudah hampir 10 tahun memilih tidak pulan ke kampung halaman. Sewaktu muda dulu dia mengeluarkan semacam sumpah palapa bergaya bak Gajahmada. Pantang pulang sebelum sukses datang. Apa mau dikata, ukuran sukses ternyata selalu saja berubah dari tahun ke tahun, dari lebaran musim sarung Kuda duduk hingga kuda berdiri akibat capek bertahun-tahun kok hanya duduk.
Saat 1/3 malam di 10 hari terakhir ramadan, seperti biasa Bawon melenggang ke Warmindo AA Ujang. Dalam benaknya tengah menghitung kisaran kasbon yang harus dia bayar dari awal puasa hingga beberapa hari ke depan. Jari jemarinya dia gerakkan seolah sedang menghitung dengan sempoa. Ada sedikit rejeki dari Haji Mustofa Kamal Pasha, Juragan beras di pasar mangga dua yang memberinya bonus akibat Bawon selalu giat bekerja. Bukan Sarung apalagi paket sembako bergambar wajah penuh seringai senyum seperti yang banyak dibagi belakangan ini oleh kalangan tertentu
Amplop bergambar ketupat berwarna hijau dia terima dari Bu Hajjah sebagai sebentuk bounus. Konon esok akan ada tambahan lagi dari pak Haji. Isi amplop tersebut sangat lumayan baginya. Meski awalnya Bawon sempat kaget dengan lembaran uang yang ukurannya jauh lebih kecil dan gambar yang berbeda dari uang yang dia miliki.
"Kok Kayak uang mainan?" begitu dia bertanya pada Rusman, tukang bubur yang juga punya cita-cita naik haji seperti sinetron di Televisi.
"Itu uang baru kang, baru keluar dari bank, sini saya tukar" gercep tukang bubur menangkap peluang.
Namun Bawon tidak berkenan menukarkan uang barunya, dia malah berencana menyimpan sebagian uang itu di kaleng bekas biskuit lebaran. Sudah sejak beberpa tahun lalu dia "nyelengi" sebagian penghasilannya, namun entah kenapa tak kunjung penuh.