Lihat ke Halaman Asli

Tamita Wibisono

TERVERIFIKASI

Creativepreuner

Perempuan dan Ramadan, di Balik Makna Tradisi dan Filosofi

Diperbarui: 24 Juni 2022   03:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.Pri Upacara adat Ngadikuen Dalam Perayaan Saranteun Ciptagelar tahun 2019

Bukan sebuah kebetulan, peringatan hari Kartini 21 April 2022 berada di sepertiga bulan Ramadan. Sudah menjadi semacam tradisi perayaan Kartini identik dengan kebaya, sanggul dan simbol perempuan dalam konteks budaya. Berbicara budaya maka tak lepas dari proses tradisi yang didalamnya terkandung sebuah nilai filosofi.  

Dalam konteks universal, Kartini adalah sosok perempuan. Dan bulan April tahun ini merupakan bulan Ramadan. Keduanya memiliki relasi dan kolerasi timbal balik  yang saling menguatkan.

Sejenak kita bayangkan ketika puasa tanpa hadirnya perempuan. Dalam keluarga, perempuan memiliki aktifitas sentral yang tidak bisa dikesampingkan perannya begitu saja. Sejenak mari kita tengok, siapa yang menyiapkan aneka takjil hingga menu berbuka puasa? pun makan sahur. Semua itu tak luput dari sentuhan peran perempuan.

Bagi perempuan, bulan Ramadan menjadi bulan yang sangat perhitungan. selain dari segi menyiapkan kebutuhan menu harian berbuka puasa. Tengok saja, siapa yang sejak awal ramadan sudah mulai menyicil membeli keperluan lebaran. Terlebih perempuan yang memiliki anak-anak yang masih belum beranjak dewasa. Pastinya selama bulan ramadan akan banyak pergumulan hati dan kalkulasi perhitungan uang belanja. Bicara tentang THR, perempuan pasti cenderung vokal. Mungkin memang sudah menjadi kodratnya demikian.

Bahkan bagi sebagian perempuan, Ramadan menjadi bulan memaksimalkan kreatifitas produktif. Ada yang menjadi pedagang takjil dadakan, menerima pesanan kue lebaran, hingga ngebut menyelesaikan pesanan jahitan baju lebaran. Siapa yang paling sibuk saat Ramadan?, jawabnya pasti perempuan.

Namun, pernahkah kita mencoba mencari sebuah benang merah, kenapa perempuan bisa sedemikian rupa bahkan saat bulan suci yang dianggap istimewa?. Legacy atas tradisi turut andil didalamnya. Belum lagi saat kita mewarisi konsep filosofi tertentu yang menjadikan perempuan adalah "pedaringan".

sumber RadarBanyuwangi.Jawapos.com

Tradisi sekaligus filosofi Perempuan itu ibarat Pedaringan, merupakan salah satu falsafah hidup sebagian masyarakat Jawa yang masih memegang ajaran leluhurnya. 

Saya sendiri mengenal pedaringan sedari kecil dalam bentuk perwujudan benda, berupa gerabah yang terbuat dari tanah liat. Sebagian besar masyarakat mengenalnya dengan sebutan gentong. Hanya saja, pedaringan memiliki ukuran yang lebih kecil. JIka gentong digunakan untuk menyimpan air, maka pedaringan berfungsi menyimpan beras.

Berawal dari mengenal wujud pedaringan, saya pun mau tidak mau- suka tidak suka secara perlahan dikenalkan dengan nilai filosofi Pedaringan itu sendiri oleh Ibu. Hal pertama yang ibu ajarkan adalah filosofi berbagi melalui Jimpitan. Pada setiap kami mengambil beras di pedaringan, maka ada semacam kewajiban untuk menjimpit/mengambil dengan tangan dalam jumlah yang sedikit dan mengumpulkanny ditempat terpisah. Beras jimpitan tersebut dikumpulkan hingga pada jumlah tertentu untuk kemudian dibagi/disedekahkan/diberikan kepada orang yang membutuhkan.

Jika kita rutin melakukan jimpitan beras dari pedaringan, bahkan bukan saja pada bulan ramadan maka sebenarnya akan meringankan kita dalam menunaikan Zakat  fitrah akhir ramadan. Tanpa perlu kuatir membebani kondisi keuangan menjelang lebaran dengan segala macam kebutuhan perayaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline