Selepas taraweh saya melihat sosok perempuan itu melintas. Badannya membungkuk mengorek tumpukan sampah di salah satu sudut toko. Tangganya mengorek sampah plastik yang baginya sangat berharga.
Pelan saya mengamati. Ramah saya menyapa perempuan yang dibagi kanannya menjadi penopang karung berukuran besar.
Wati, dia menyebut namanya singkat. Usianya 36 tahun, 3 tahun lebih muda dari usiaku. Seperti dugaanku, ternyata benar dia berasal dari Purbalingga kota kecil yang masuk dalam wilayah eks karesidenan Banyumas.
Selama bulan puasa, dia bekerja memungut sampah plastik dari selepas taraweh hingga jam 2 dini hari. Mbak Wati pulang menjelang sahur. Bergantian dengan suaminya yang juga memulung sampah dari pagi hingga sore.
Ketika dia menyebut tinggal di lapak sampah tak jauh dari tempat kami bertemu, setengah memaksa saya meminta mbak Wati untuk mengajak saya singgah barang sejenak.
Bak peradaban tersembunyi, lapak sampah yang terletak di Jl Kenanga pondok pinang itu nyatanya dihuni oleh banyak keluarga. Termasuk mbak Wati beserta suami dan ketiga anaknya. Dua anaknya konon sedang taraweh, hanya ada suami dan Diva, anak perempuan mbak Wati yang masih berusia 4 tahun.
Sudah lebih dari 10 tahun dia memungut sampah. Saat Ramadan ia dan suami harus bekerja lebih giat, mengumpulkan sampah agar bisa menjadi bekal di Hari Raya. Berjalan kaki sepanjang jl Ciputat raya - Pondok Pinang hingga ke Gandaria dengan memulung sampah, sebuah ketangguhan luar biasa.
Ya Allah, andai saja bisa berbagi kebahagiaan, ingin rasanya bisa mengajak mbak Wati dan keluarganya barang sejenak bisa bermalam di Cordella hotel Senen-Jakarta. Semoga menjadi suatu keniscayaan. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H