Banyak hal yang berbeda dari perayaan Idul Fitri tahun ini. Satu hal yang selalu sama adalah ketika kita meminta maaf atas segala salah dan khilaf. Meskipun cara bermaaf-maafanya pun tahun ini harus menyesuaikan dengan prosedur jaga jarak.
Sedari pagi kawasan Pondok Pinang ramai oleh aktifitas warga seperti biasa. Gema takbir terdengar dari setiap mushola hingga masjid yang ada. Kami memilih untuk tidak melaksanakan shalat Ied berjamaah sesuai anjuran agar korona Tidak kian menyebar.
Ini tahun kedua kami berlebaran di Jakarta. Dan tahun pertama berlebaran di kawasan Jakarta Selatan. Sedari pagi para tetangga saling melambaikan tangan dari kejauhan. Tanpa ada salaman apalagi berciuman pipi kiri dan pipi kanan sebagai tanda keakraban.
Sungguh semua tetap larut dalam kebahagiaan. Tetap memiliki kesan tersendiri bagi kami. Setelah bermaafan tanpa salaman dengan para tetangga, kami memiliki agenda untuk nyekar ke makam. Ini kali pertama kami nyekar saat lebaran di salah satu pemakaman terkenal di bilangan Jakarta Selatan.
Ramadan lalu kami melepas kepergian sosok yang kami hormati dan kami kasihi bersamaan dengan kepergian the Legendary of broken heart Didi Kempot. Tanggal dan hari yang sama seolah menjadi hari berkabung bagi kami. 20 hari lalu, saya pribadi tidak bisa turut hadir di pemakaman.
Mengunjungi makam saat lebaran pun menjadi agenda yang penuh kesan. Areal pemakaman yang cukup luas itu tampak ramai. Beruntung semua berjarak, sehingga tidak ada penumpukan massa. Dan semua terlihat menggunakan masker.
Sinar matahari yang menyinari hampir semua areal pemakaman juga membuat kami merasakan nikmat berjemur dengan suasana yang berbeda dari biasanya. Hamparan rumput menghijau, harum aneka bunga yang ditabur di areal pemakaman seolah menyatu menyambut mereka yang datang untuk nyekar ke makam sanak famili, kerabay dan handai taulan.
Setelah memanjatkan doa dan menabur bunga kami pun tak berlama-lama. Begitu kembali tiba dirumah, layar ponsel suami bergetar memunculkan wajah yang sangat kami kenal.
Ya, lebaran kali ini kami tetap berkumpul keluarga meski hanya melalui layar digital. Hampir 1 jam lamanya handphone menjadi alat yang membuat kami saling berbagi suasana lebaran lintas Kota.
Jakarta, Bogor, Sidoarjo, Jember, Situbondo, Bali tak terkecuali Tegal seolah tak berjarak dengan canda tawa dan saling berucap maaf. Tentu dengan persediaan kuota yang mencukupi.
Suka Tidak suka, mau tidak mau berkumpul melalui layar digital semacam inilah yang paling aman, hemat energi dan tentu hemat biaya. Toh kami masih bisa saling bertatap muka, melihat keadaan masing-masing meski hanya dari kejauhan.