Dimana bumi di pijak disitu langit dijunjung. Sebuah peribahasa yang mengingatkan saya akan sebuah makna untuk menyatu dengan lingkungan sekitar. Khususnya yang menyangkut kedekatan dengan masyarakat kultural.
Dua kali lebaran ini saya bersama keluarga berada di perantauan. Tidak mudik, memenuhi anjuran pemerintah agar penanganan wabah Corona kian tertuntaskan. Hampir satu tahun berdomisili di Jakarta Selatan tepatnya di Pondok Pinang, nuansa multikultural itu jelas ada. Namun menghargai warga asli setempat yang merupakan masyarakat Betawi menjadikan kita hidup lebih menapak bumi.
Keberadaan warga asli Betawi di lingkungan sekitar tempat kami tinggal secara resmi terwadahi dalam Ikatan Betawi Pondok Pinang Beberapa nama jalan di kawasan ini bahkan identik dengan nama-nama tokoh Betawi seperti Haji Muhi,Haji Saimun,Haji Midar hingga Haji Eman menjadi rekam jejak masyarakat Betawi menetap di kawasan ini.
Beberapa menu makanan khas Betawi antara lain nasi Uduk, ketupat sayur hingga asinan Betawi pun bisa dengan mudah dijumpai di kawasan pondok pinang. Sebutan Mpok,Abang, Nyak, Babeh kerap terdengar saat beberapa warga asli bercakap-cakap.
Begitulah sebuah tradisi tidak akan mati atau putus generasi manakala bisa diwarisi dan dilangsungkan dalam kehidupan sehari-hari ataupun pada momentum khusus tertentu. Pada saat menjelang hari raya Idul Fitri misalnya. Bahkan muncul istilah lebaran Betawi, yang menjadi momentum akulturasi antara nilai religi dan nilai budaya asli Betawi.
Tak sulit saya beradaptasi dengan warga asli Betawi. Bermodalkan aksen logat lu-gue, dan panggilan ramah yang digunakan saat saya menyapa mereka berupa Mpok, bang, hingga Babeh, menjadikan saya larut dalam sebuah tradisi diluar daerah asal saya.
Melalui obrolan singkat dengan Mpok Anis saya sungguh tak mengambil jarak atas sebuah tradisi. Termasuk ketika Mpok Anis mengisahkan bahwa setiap menjelang lebaran dia bersama beberapa warga sibuk membuat dodol Betawi.
Ya, dodol atau di beberapa daerah di Jawa disebut Jenang merupakan makanan tradisional yang terbuat dari tepung beras ketan dicampur dengan gula merah. Hanya saja, cara dan teknik membuatnya lah yang kerap berbeda..
Dodol Betawi dibuat khusus pada saat menjelang Idul Fitri. Ada syarat wajib yang harus dipenuhi oleh si pembuat dodol. Bagi Ibu-ibu atau kaum perempuan harus dalam keadaan "suci" tidak sedang mengalami datang bulan.
Ini selaras dengan filosofi dodol Betawi yang disajikan saat lebaran nanti, dimana semua orang akan kembali ke fitrah alias suci, tidak meninggalkan salah sedikitpun melalui proses saling memaafkan.
Sementara kaum laki-laki akan sigap untuk mengaduk adonan bahan dodol diatas tungku minimal 10 jam hingga dodol Betawi matang sempurna. Selama mengaduk adonan, Bapak-bapak ataupun anak lelaki dilarang berkata kasar.