Bungong Jeumpa Bungong Jeumpa
Meugah di Aceh
Bungong Teuleubeh, teuleubeh Indah lagoina
puteh,Kuneng, Meujampu Mirah
Keumang Siulah Cidah That Rupa
Itulah sepenggal lirik lagu yang berasal dari Aceh yang sempat saya hafal sedari sekolah dasar dulu berjudul Bungong Jeumpa. JIka bukan karena undangan untuk hadir di acara Aceh Meusapat, maka saya tidak akan pernah mengetahui keindahan Aceh yang dilukiskan dalam tembang beritme riang gembira tersebut. Sabtu 21 Desember 2019 di Aula mess Aceh di Jl RP Soeroso no 14 Cikini Jakarta Pusat, digelar Dialog Pembangunan Pariwisata Aceh yang dihadiri oleh Plt Gubernur Aceh, Bapak Ir. Nova Iriansyah MT dan tokoh Aceh lainnya beserta berbagai kalangan yang menaruh perhatian terhadap propinsi yang dikenal dengan julukan serambi Mekah ini.
Bungong Juempa konon merupakan tanaman khas yang berasal dan hanya tumbuh di daerah Aceh. Bunga ini merupakan jenis bunga cempaka wangi , sebagian orang Jawa mengenalnya juga dengan nama bunga kanthil. Sebagai perempuan saya teramat tertarik dengan bunga khas Aceh ini. Dalam penelusuran literasi digital yang saya lakukan, keberadaan Jeumpa atau bunga Cempaka ini sedikit banyak telah menjadi warna dalam tradisi, adat dan budaya masyarakat Aceh. Nyata Jeumpa adalah satu dari ribuan megahnya keindahan alam dan budaya Aceh, yang bisa menjadi daya tarik dan potensi wisata tersendiri.
Berbicara tentang destinasi wisata nusantara, Aceh memang belum se-moncer a Piece of paradise Papua dengan raja Ampatnya. Namun yakin, otentiknya budaya dan alam Aceh akan menjadi surga wisata baru di Indonesia, mendampingi Bali yang di sebut dalam film semi dokumenter sebagai Beats of Paradise. Lantas bagaimana Aceh mempersiapkan diri sebagai the light of Paradise? Forum Aceh Meusapat menjadi salah satu langkah memantapkan Aceh sebagai destinasi wisata yang siap bersaing sekarang atau pun di masa yang akan datang.
Dalam dialog yang menghadirkan para stakeholder kebijakan pariwisata antara lain Ketua Pengelola Desa Wisata , Doto Yogantoro, Direktur pengembangan pasar dalam negeri Kementerian Pariswasat dan Ekraf , Ibu Yuana R Astuti, kepala Dinas kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi , MY Bramuda serta pelaku industri travel nasional dan lokal membahas potensi dan sharing pengalaman untuk memperkuat posisi Aceh sebagai destinasi wisata pilihan baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Sekelumit kisah tentang tragegi tsunami itu memang tak mudah menghapus keindahan dan keagungan budaya masyarakatnya.
Sejarah mencatat jejak Islam hingga kini begitu melekat dalam keseharian masyarakat di Aceh. Wajar jika Aceh pun terpilih sebagai "world's Best Halal Cultural Destination". Hal tersebut diungkap oleh bapak Ir Nova Iriansyah yang menyebut wisata Aceh mempu meraih peringkat Terbaik pada Global Muslim Travel Indek (GMTi) 2020. Lantas, apalah hanya bentang alam, dan label wisata halal saja yang menjadi Aceh untuk mendunia? tentu tidak. Data dari dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh telah mengidentifikasi bahwa kurang lebih ada 797 objek wisata serta 774 situs dan cagar budaya yang tersebar di 23 Kabupaten/Kota di wilayah Aceh. Dan semua itu terdukung oleh sarana dan prasarana transportasi jalur darat, laut hingga udara.
Kisah kepahlawanan di tanah rencong patut kiranya menjadi salah satu hal yang bisa menjadikan Aceh sebagai salah satu titik napak tilas perjuangan nasional. Belum lagi kisah kesultanan Islam yang bisa menjadi benang merah sejarah bagi negara-negara yang memiliki pondasi Islam seperti Brunei darusslam , Malaysia hingga Saudi Arabia. Hingga Tragedi Tsunamipun bahkan bisa menjadikan Aceh sebagai destinasi wisata bagi studi geografi dan managemen penanggulangan bencana baik dari lingkup regional hingga kawasan Asia lainnya.
Tak kurang-kurang bicara potensi budaya- kuliner-tarian-hingga corak kain dan pakaian adat Aceh . Siapa tak kenal dengan Kopi Aceh. Sebut saja kopi Gayo, hingga ulee kareng. Penyajian kopinya pun khas dengan atraksi menuang kopi atau teh dengan jarak yang sedemikian rupa,layaknya ditarik hingga kemudian dikenal sebagai kopi atau teh tarik.
Hal lain yang tak kalah unik tentu cita rasa masakan Aceh yang konon menjadikan secuil daun terlarang sebagai bumbu dari surga. Ah yang benar saja, karena itu hanya rumor semata. Mie Aceh, Ayam tangkap, Roti Cane dengan Bumbu Kari, hingga masakan berbumbu Asam Sunti. Ada juga Martabak Aceh yang anti mainstrem, berbeda dengan martabak dari daerah lain. Martabak Aceh menggunakan cane/kulit lumpia justru sebagai isian dari telur kocok yang dituang berlapis. Ini bedanya. Martabak pada umumnya kocokan telurnya berada di dalam, sementara martabak Aceh, kocokan telur justru menjadi lapisan luar. Menarik bukan?
Potensi UMKM dari Aceh juga menjadi hal yang akan menunjang pariwisata. Buah tangan dari Aceh tentu tidak sebatas makanan dan minuman khas semata. Kain sulam khas Gayo yang warnanya eksentrik dengan motif unik harusnya mampu menjadi "batik- Jawa' atau 'Ulos-Sumatra" yang kian digemari para pemerhati busana. Inovasi produk UMKM akan bertumbuh seiring dengan dikenalnya Aceh sebagai the light of Paradise yang kian diminati wisatawan.
Kiranya Aceh , Titik Nol Indoneisa mampu manjadi sinar dari surga, The light of Paradise yang menjadikan Islam sebagai Rahmatallil alamin bagi tiap pengunjungnya, bahkan bagi mereka yang beragama selain Islam sekalipun. Tak perlu ragu melangkah ke Serambi Mekah, Sebab Tuhan menjadikan Aceh sebagai salah satu anugerah Terindah bagi dunia pariwisata yang membawa berkah.