Rumors meningkatnya elektabilitas Prabowo -Sandi yang konon mampu melebihi Jokowi-Ma'ruf Amin melalui survey media sosial menjadi nafas baru sebuah upaya "to manipulate". Istilah ini merupakan level "kebohongan" rendah yang terorganisir terkait opini publik. Terlepas benar tidaknya survey tersebut, yang jelas pemilihan presiden 2019 tidak dilakukan melalui sarana media sosial. Jelas, perangkat survey terkait metodologi, pengambilan sampling, dan populasi yang dijadikan target survey pastinya dibuat semudah koalisi sebelah dalam menyebar haox.
Logika sederhana saya berkata, jika survey saja bisa dipoles sedemikian rupa, bagaimana dengan hal lain?. Sedari awal kemunculan pasangan Prabowo Sandi membawa semburat warna politik kebohongan atau yang lebih dikenal dengan hoax. Alih-alih menciptakan sesuatu yang menarik perhatian semua kalangan, beberapa peristiwa pun kemudian harus berakhir dengan sebuah klarifikasi atau permintaan maaf dari Prabowo. Bukan sekali dua kali, namun jika hal ini terus-terusan terjadi, saya hanya khawatir bahwa koalisi Prabowo-Sandi dibangun dengan sistem pabrikasi kebohongan yang produktif dalam meramu, meracik dan mengedarkan kebohongan yang harus dikonsumsi oleh masyarakat luas.
Beruntung masyarakat tidak menelan mentah-mentah semua kebohongan yang dibagi secara cuma-cuma. Hoax of the years 2018 yang melibatkan tokoh teater perempuan Ratna Sarumpaet yang diskenario sedemikian rupa terbongkar pada tenggat waktu sesingkat-singkatnya. Drama penganiayan Ratna yang semula diharapkan menjadi genre kekerasan terhadap perempuan dengan tuduhan tidak langsung kepada oknum pemerintah, berupah 180 % menjadi roman picisan yang menggelikan. Sama gelinya ketika kita melihat atau bahkan memegang "pusar bodong".
Semangat kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda dalam menggelorakan kebohongan kian santer didengungkan. Belum klimaks bermain drama hoax, lantas hoax terkait data fiktif pemilu pun dimainkan. Tanpa disupport sumber primer terpercaya, kebohongan terkait adanya 25 juta pemilih ganda pun akhirnya menguap begitu saja manakala komisioner KPU sebagai lembaga yang berwenang dalam penyelenggarakan Pemilu 2019 mengkonfirmasi bahwa jumlah yang disebut tidaklah benar. Sungguh, angka-angka terkait data pemilu tidaklah bisa muncul begitu saja layaknya rumusan nomor togel yang bisa diterawang melalui mimpi. Sehingga kebenarannya kadang kosong alias Zonk bin bodong.
Sungguh, tidak berharap bahwa kebohongan adalah sebuah kutukan rantai setan yang teramat sulit untuk dilepaskan. Sekali berbohong, maka berbohong lagi dan lagi kerap membawa kenyamanan semu. Hingga level kebohongan tersadis pun dilontarkan dari kubu Prabowo Sandi terkait Isue bahwa Jokowi adalah keturunan PKI. Tak tanggung-tanggung, Fadli Zon seolah menantang Jokowi untuk melakukan serangkai tes DNA sebagai sebuah pembuktian medis. Beruntung, sifat dan sikap tenang seorang Jokowi tak goyah hanya karena kebohongan yang ditiupkan hingga ke luka ideologi sekalipun. Stay cool Sir...
Belum habis saya berfikir tentang kebohongan yang melingkupi Prabowo Sandi, desir hati sebagai perempuan saya berkata, apa karena Prabowo-Sandi merasa selama ini mereka adalah laki-laki ganteng, tampan alias rupawan?. Dengan segala puja puji yang membuat kian sempurna di mata para emak-emak, jurus berbohong memang menjadi andalan ala "don juan". Rayuan maut kerap berisi tentang kebohongan. Nah, inilah perlunya perempuan menjadi cermat dalam memilih. Jangan sekedar melihat tampang dan rupa luarnya saja yang kerap mengecoh. Ingat, tampang kerap dijadikan sarana untuk memikat. Gula jawa pun bisa mereka sebut cokelat.
Menggelikan memang. Seperti syair lagu Panggung Sandiwara, bahwa peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak. Sama seperti ketika kita melihat "udel bodong", begitulah hakikat seoarang pembohong. Bayangkan saja, Sekelas Prabowo yang konon hebat menyebut Indonesia bubar pada tahun 2030. Alih-alih menyebut sumber dari karya fiksi ilmiah luar negeri yang berjudul "Ghost Fleet", Prabowo pun harus mengklarifikasi secara berlapis dengan apa yang dimaksud Indonesia Bubar 2030. Andai Pak Prabowo sedikit bijaksana, tidak perlu repot mencari referensi dari luar, toh banyak kearifan lokal yang menjadi peninggalan leluhur memberi gambaran kewaskitaan tentang Indonesia ke depan. Ramalan Jayabaya Misalnya. Ah ya ya, jika yang disebut adalah JayaBaya maka sudah banyak ahli yang mumpuni untuk membedah kedalaman isi ramalan Jayabaya. Nanti ketahuan berbohong diawal deh.
Prabowo Sandi sungguh pasangan yang kompak. Termasuk dalam hal menciptakan kebohongan. Seolah tidak mau kalah dengan kebohongan kebohongan besar ala Prabowo. Saatnya Sandiaga Uno, sosok pengusaha muda kaya raya yang tidak mau kalah memercik kebohongan dengan kadar kecil. Kenapa kebohongan kecil? sebab kebohongan yang diungkapkannya sangat kasat mata. Bisa diraba, dipegang tanpa perlu diterawang. Jelas bukan terkait uang palsu. Melainkan tempe yang konon berukuran setipis ATM. Sebagai perempuan yang sedikit banyak bersentuhan dengan tempe, saya merasa geli bercampur prihatin. Ini Cawapres, baru lihat tempe atau memang selama ini gag pernah makan tempe?.
Habis tempe, terbitlah nasi ayam Singapura yang menurutnya lebih murah dari Harga nasi ayam di Indonesia. Dia menyebut sepiring nasi ayam Singapura sekitar 3,5 USS, jika di kurs kan rupiah sekitar 35 ribu, sementara di Indonesia bisa mencapai 50 rb. Hah??? darimana bisa?. Ini pasti Cawapres Sandi belum pernah makan nasi ayam warteg, nasi ayam pop Rumah Makan Padang, Nasi Ayam Bakar Mas Mono. Pun nasi ayam wong solo gag sampe 50ribu paket lengkapnya. Apa belum pernah beli NAsi ayam Geprek Be#Su yang kekinian ? Nasi+ayam mozarella cuma 30 ribuan kok. Belum lagi kalo mau makan di brand ayam lokal seperti Jogja Chicken, NFC dll...itu seporsi nasi ayam cuma di bandrol Rp.20.000 ribuan sudah dapat es teh manis dan nasi lho. Dan nasi ayam Singapura yang lebih murah dari harga nasi ayam Indonesia pun menjadi Hoax menggelikan bagi pecinta menu nasi Ayam Indonesia.
Entah berapa banyak kebohongan mereka produksi, konsumsi dan sebarkan. Kebohongan yang menjadi gaya politik seakan sudah mendarah daging. Sepertinya Prabowo Sandi harus sedikit bernostalgia ke masa kecil dulu. Luangkan waktu untuk menonton film Pinokio. Bahwa tiap kebohongan yang dilakukan akan berdampak pada hidungnya yang bertambah panjang. Jika logika pemenangan Sandi mengadopsi film Pinokio, bahwa dengan kebohongan maka akan bertambah banyak masyarakat yang memilih, rasanya kok tidak semudah itu. Masayakarat Indonesia semakin cerdas dalam memilih, ditunjang oleh sistem kontrol media dan lembaga terkait yang bersinergi. Akan menghalau tiap kebohongan.
Semoga lekas menginsyafi. Lebih baik Jujur meski realitas berkata pahit. Dari pada berbohong terus menerus..lama-lama yang ada malah menjadi Capres-Cawapres "bodong" ( baca: "udelnya bodong"). Tentu akan sangat menggelikan.