Lihat ke Halaman Asli

Tamita Wibisono

TERVERIFIKASI

Creativepreuner

Menulis Sejarah Tidak Bisa Mengarang Indah

Diperbarui: 4 Maret 2018   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi karya R Gaper Fadli

Cerita ini bermula ketika ada teman Kompasianer Malang menginformasikan perihal bimtek penulisan Sejarah dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, awalnya saya ragu untuk mendaftar. Hal itu dikarenakan ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Sehingga mungkin tidak semua pendaftar dinyatakan lolos. Informasi awal yang saya terima Bimtek diselenggarakan di Kota Malang pada minggu ke empat Februari 2018 lalu.

Saya bukanlah orang yang berlatar belakang sejarah dalam kapasitas keilmuan. Namun saya merasa tertarik dan menaruh perhatian pada beberapa segmen sejarah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Meski bukan dalam proses menghafal semata. Sejarah bagi saya adalah khasanah pengetahuan yang akan membuat kita menjadi arif lagi bijaksana. Sejarah bukan saja menyangkut fase kejayaan ataupun catatan kelam tentang sebuah peristiwa dan kejadian. Sejarah akan membawa kita melintasi ruang waktu dan membuka dialektika berfikir mana yang baik untk diteruskan. Begitupun mana yang kurang baik selayaknya kita tinggalkan.

Beruntung, manakala saya membaca persyaratan peserta Bimtek penulisan sejarah, Kemendikbud justru membidik kalangan yang berasal dari luar keilmuan sejarah itu sendiri. Secara usia batasan maksimal peserta adalah 50 tahun. Berdomisili di sekitar lokasi penyelenggaraan kegiatan dan melampirkan outline/kerangka penulisan sejarah.

Idealisme saya pun muncul terkait outline/kerangka penulisan sejarah yang hendak saya lampirkan. Tersedia waktu selama kurang lebih 10 hari dari batas waktu terakhir pengiriman. Maksud hati ingin mengangkat tema dimana saya berdomisili , yakni seputar sejarah Kediri. Namun apa daya, saya justru mengalami stagnasi. Beberapa upaya mencari referensi sejarah kediri sempat saya lakukan. Diantaranya mengunjungi perpustakaan Kota Kediri. Setelah sebelumnya mata saya berselancar membaca referensi online hasil pencarian di google, termasuk membaca sejarah singkat yang terdapat dalam website pemerintah daerah setempat.

Pening kepala ini membaca referensi online yang sedemikian banyaknya. Rata-rata berasal dari blog pribadi. Meski diakhir tulisan disertakan beberpa daftar pustaka,namun tetap saja terasa tumpang tindih bagi saya. Semakin banyak referensi sejarah versi sejarah yang saya baca, semakin berat rasanya kepala. Tak satupun kata , bahkan ketika hendak membuat judul kerangka sejarah itu mampu saya tuangkan dalam tulisan.

Sejarah memang butuh perlakuan khusus. Suasana kebatinan pun tak mampu saya hadirkan ketika membaca informasi tentang kerajaan yang menyebut sekelas tokoh Jayabaya. Seharian mencari referensi berupa buku di perpustakaan kota kediri,hasil tidak maksimal. Hanya 1 judul buku saja yang saya temukan. Dan itu tidak cukup kuat untuk menjadi referensi yang akan saya hadirkan.

dok.pri koleksi buku perpustakaan Kota Kediri masih minim buku sejarah tentang Kediri

Dalam kegalauan, saya sedikit mengindahkan saran dan masukan dari suami agar saya menulis tentang sejarah yang terkait dengan Soekarno. Toh, ada perpustakaan lengkap di kompleks makam Soekarno di Blitar yang bisa dengan mudah saya akses. Pertentanganpun saya munculkan. Zaman orde baru dulu betapa sulit mencari referensi buku tentang Soekarno, apakah itu juga berlaku bagi tokoh orde baru dalam sejarah kekinian?

Lantas, saya pun sempat mengunjungi Gramedia, mencari inspirasi dari buku-buku sejarah terbitan baru. Nihil, saya malah membeli buku obralan berupa ontologi cerpen Kompas tahun 2012. Batas waktu pendaftaran online yang disertai lampiran outline pun berakhir. Saya masih saja  belum menghasilkan outline sejarah.

Menyerah, pasrah. Tiba-tiba saat saya membaca buku dari koleksi pribadi karangan sejarawan Sartono Kartodirdjo yang berjudul Sejak Indische Sampai Indonesia. Entah kenapa ada bab dalam buku tersebut yang menyebut bahwa Pangeran Samber Nyawa atau RM Said yang kemudian menjadi Adipati Mangkunegara I merupakan Pahlawan Nasioal. Saya pun berfikir kritis. Kenapa sebagai pahlawan nasional, nama pangeran Samber Nyawa tidak se membumi Pangeran Diponegoro, atau Jenderal Soedirman?. Apa karena lingkup ruang yang berbeda, dalam hal ini pangeran samber nyawa hanya dikenal di kawasan eks karasidenan Surakarta saja?

Penasaran, akhirnya saya teruskan membaca bab tersebut hingga tuntas. Saya kaitkan dengan beberapa judul buku seputar Keraton Mataram Islam. Ada benang merah, mendukung satu sama lain. Tidak disangka, ada 4-5 judul buku yang saya miliki cukup menunjang referensi pembuatan outline penulisan sejarah. Tak tanggung tanggung saya membuka beberapa situs yang terkait rekam jejak pangeran Samber Nyawa, diantara pura mangkunegaran Solo.

Referensi terdukung oleh suasana kebatinan yang mampu saya hadirkan. Hal itu membuat saya mengalir dalam menulis latar belakang dan bab yang ingin saya tuang dalam tulisan. Ditambah lagi informasi dari jejaring pertemanan facebook yang menyebut bahwa Pura Mangkunegara memiliki Rekso Pustaka yang bisa diakses untuk tujuan studi literasi. Done! Outline pun saya kirim untuk prasyarat pendaftaran Bimtek penulisan sejarah yang dilaksanakan di Kota Semarang pada tanggal 5-9 Maret 2018. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline