Sabtu 23 Juli 2013
Satu per satu prosesi pernikahanku terlalui. Pagi itu halaman rumah masih dihias tenda dan kursi tamu yang tertata sedemikian rupa. Pelaminan masih dihiasi bunga dan hiasan lainnya. Rombongan electone mulai berkemas menata alat musik mereka. Waktu bagian Tegal dan sekitarnya menunjukkan pukul 10.00.sound system terdengar mulai menyuarakan nada-nada awal sekedar cek sound. Aku yang tengah menjadi ratu sehari bersama pasangan raja sehariku kembali duduk di singgasana layaknya pengantin pada umumnya.
Tanpa dinyana, Ibu meminta sebuah lagu untuk dimainkan. Bukan lagu Pop melankolis apalagi tembang kenangan yang banyak dinyanyikan pada acara resepsian. Melainkan Sebuah irama tarling jaipongan menjadi lagu pembuka acara resepsi yang digelar di pelataran rumah orang tua kami. Belum banyak tamu yang hadir kala itu. Hanya beberapa tetangga yang menjadi teman sepermainan saja.
Sungguh, bukanlah kebiasaan sekaligus kebisaan Ibu untuk menari di depan khalayak. Tapi melalui MC, Ibu menyampaikan pesan bahwa Tarian, lebih tepatnya joget gaya bebas itu ibu persembahkan sebagai hadiah pernikahan kami. Saat ditanya oleh MC bagaimana perasaan Ibu saat anak perempuannya, disela-sela musik yang mampu menggerakkan kaki dan tangannya untuk berjoget ibu menjawab dengan satu kat "Plong"...alias lega.
Tarian Ibu di hari Pernikahanku, menjadi tarian sekali dalam seumur hidup yang pernah aku lihat. Ibu begitu lepas menggerakkan kaki tangan dan anggota tubuhnya meliuk mengikuti irama. Wajah sumringah begitu terpancar dari wajahnya. Bagiku, tarian yang ibu lakukan kala itu layaknya tarian sakral yang menggenapkan kebahagiaan kami . Meski saat ibu membawakan tarian tersebut, prosesi pernikahan adat Jawa telah kami lalui tanpa ada suatu tarian layaknya Manortor dalam pernikahan adat Batak, ataupun tarian Pagar Pengantin dalam budaya Palembang.Begitulah cara Unik Ibu memberikan hadiah pernikahan bagi anaknya.
Tarian Ibu sungguh tak pernah aku lihat lagi setelah itu. Meski pada saat ada momentum pernikahan yang dilakukan oleh orang lain sekalipun . tarian ibu di hari pernikahan anaknya, menjadi puncak akumulasi semua hadiah yang pernah dia berikan sedari kecil hingga dewasa ini. Tak awet wujudnya, namun membekas dalam rasa dan ingatan. Sayang hanya di dokumentasikan dalam bentuk foto, bukan video.
Ibu Menari diantara meja yang diatasnya tersaji aneka hidangan acara resepsi. Tanpa alas kaki, dengan sepenuh hati. Layaknya ia menyanyangiku sedari kecil tanpa terperi
#####
Dan Momen Pernikahanpun berlalu. Si Anak perempuannya telah dilepasnya mengarungi bahtera kehidupan yang baru. Perubahan sikap perlahan aku rasakan. Ibu Tak lagi memanjakan aku.Tidak bisa lagi aku merajuk minta ini itu. Bahkan saat aku mengadu, yang ada Ibu malah memecutku. aku teramat paham maksud Ibu. Membuatku menjadi perempuan tangguh sepertinya dulu. Pecutan itu aku rasakan benar melalui kata-kata sekaligus doa darinya. Bahwa aku harus konsekuen dengan pilihanku. Susah senang harus dihadapi, dilalui. Jangan cengeng. Hadapi semua permasalahan dalam rumah tangga. Langsung ataupun tidak, pecutan itu pula yang semakin menguatkan kemandirianku.
Tak terasa hampir lima tahun ibu memberiku hadiah berupa pecutan kemandirian. Sejak awal menikah aku lalui dinamika dan bahtera rumahtangga yang sedemikian dasyatnya. Dan semua aku lalui dengan penuh ketegaran karena pecutan yang ibu berikan sungguh menguatkan aku. Sedikit banyak aku mewarisi sifat-sifat Ibu. Memiliki aktifitas di luaran, namun tetap nyaman dengan tugas-tugas rumahan. Itu juga yang disebut ibu sebagai sebuah keseimbangan.
Ah. Ibuku sayang...Ibuku yang membuatku menjadi seperti sekarang. Dari sekian banyak hadiah darimu. Tiga hal ini menjadi hadiah abadi. Tak berbekas namun tak mudah diretas. Tak semua bisa mendapatkan hadiah unik layaknya kado dari sinterklaus yang menjadi kejutan tersendiri. Trimakasih Ibu, Hadiah darimu sungguh tak lekang oleh zaman. Menjadi cerita yang tak terperi pada tiap generasi kelak dikemudian hari.