Imlek dalam kalender Masehi telah lewat beberapa hari lalu. Namun sejatinya perayaan tahun baru di kalangan Tionghoa ini berlangsung selama 15 hari. Puncak Perayaan Imlek dikenal dengan istilah Cap Go Meh. Kemudian identik juga menjadi nama kuliner lontong Cap Go Meh yang mengundang selera banyak kalangan. Begitu sekelumit hal yang disampaikan oleh salah satu pegiat Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY), Jimmy Sutanto.
Sore itu bertempat di Move on cafe yang teletak di Jalan Prawirotaman nomor 8 yogya, 10 orang Kompasianer Jogya termasuk diantaranya saya berkesempatan mengikuti dolan nangkring. Cafe yang lumayan cozy itu menjadi tempat sharing akulturasi budaya. Membahas budaya Tionghoa di Jogyakarta diantara ragam budaya yang ada di Indonesia bahkan Mancanegara. Ya, tidak hanya mensosialisasikan acara tahunan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) yang akan digelar pada tanggal 5-11 Februari 2017 saja. Dolan Nangkring ala kompasianer Jogya menjadi momentum untuk menelisik rekam jejak etnis Tinghoa dalam membangun peradaban budaya di kota yang digadang-gadang sebagai "City of Tolerance".
Terperangah saya menyimak cerita para pegiat budaya Tionghoa yang hadir, tentang jejak peranakan Tionghoa yang menyatu dalam sejarah Yogyakarta. Tersebutlah Tan Jin Sing yang kemudian bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono III. Keberadaan Tan Jin Sing inilah yang mengawali terjadinya akulturasi budaya Tinghoa-Jawa. Tidak tanggung-tanggung, jejak sejarah Tan Jin Sing sempat diperlihatkan oleh koh Tjun Daka Prabawa yang turut hadir bersama panitia PBTY 2017.
Di Kampoeng Ketandan yang terletak di kawasan Malioboro itulah jejak sejarah Tan Jin Sing konon menjadi cerita dikemudian hari. Wajar jika kemudian kalangan Tioanghoa Jogya menjadikan Kampoeng Ketandan sebagai tempat puncak perayaan Imlek melalui rangkaian Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta sejak tahun 2005. Sewindu kemudian, tepatnya pada PBTY tahun 2013 dibangunlah Gapura Kampung Ketandan.
Ya, Ketandan berbenah menjadi satu dari sekian banyak "the Heritage of Jogya". Koh Tjun menambahkan bahwa Ketandan berasal dari kata Tanda (baca ; Tondo) yang mengandung makna kepangkatan dalam petugas pajak. Ketandan nyata menyimpan rekam jejak kalangan Tionghoa yang memperlihatkan betapa kuat akulturasi budaya Tionghoa-Yogya. Salah satunya dapat dilihat dari bentuk ornamen rumah yang memadukan unsur Jawa, Tionghoa dan Islam. Konon Tan Sing Jin memeluk Islam tanpa menisbikan budaya Tionghoa.
Sore itu, hujan mengguyur Yogyakarta. Penuturan cerita sejarah oleh Koh Tjun dilengkapi dengan keterangan dari Mas Bekti selaku panitia pelaksanan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta membuat saya semakin penasaran saja. Ada yang istimewa dari PBTY 2017 kali ini. Yakni pelaksanaanya yang berlangsung selama sepekan.
Kemasan acaranya pun tidak hanya menampilkan budaya Tionghoa saja, melainkan ada pertunjukan budaya daerah yang ada di Indonesia yang akan dibawakan oleh perwakilan paguyuban Mahasiwa daerah yang ada di Yogya. Tidak tanggung-tanggung, PBTY 2017 kali ini pun rencananya akan menghadirkan tarian dari India dan Jepang. Dan melengkapi penelusuran sejarah, akan dihadirkan pula pameran budaya dalam rumah budaya Ketandan.
Setelah berfoto bersama dan hujan sedikit reda, buru-buru saya pamit. Tak lain ingin segera menginjakkan kaki di Ketandan. Benar saja, gapura bertuliskan Kampoeng ketandan dalam 3 versi tulisan masing-masing Aksara Jawa, Alpabet Bahasa Indonesia, dan tulisan Tionghoa itu menyambut mereka yang melintas masuk. Gapura dengan Arsitektur khas Tionghoa itu memiliki 2 pilar berwarna merah dengan dekorasi lilitan naga. Atapnya yang berwarna hijau toska pun kian menagaskan ornamen etnik Tionghoa. letaknya persis di sebelah Departemen Store sebelum Pasar Beringharjo.
Tampak Baliho berukuran besar terpbang di samping kiri gapura. Sungguh gelaran budaya yang luar biasa. Selama 7 hari, dari tanggal 5-11 Februari 2017 dimulai pada pukul 17.00 hingga 22.00 WIB, kampoeng ketandan akan bersolek sedemikian rupa ditengah suasana Imlek. Festival kuliner Nusantara menjadi surga pecinta makanan yang beraneka macam cita rasanya. panggung hiburan menjadi salah satu semarak selain pertunjukan Naga Barongsai, Wayang Potehi, talent show Koko- Cici Yogya 2017 hingga sarasehan dan Demo Batik Peranakan.
Ketandan sore itu masih tampak lengang. Hanya beberapa pedagang kaki lima menghias di tepian Ketandan. Begitu pula ketika langkah kaki semakin dalam menelusuri jalan ketandan, hanya parkir kendaraan roda dua yang tampak mendominasi. Meski kemudian saya sempat melihat ada gapura yang sedikit temaram bertuliskan "Malioboro Heritage". Hmmm, mungkin disitulah jejak Tan Jin Sing dengan rekam akulturasi budaya telah tercipta ratusan tahun yang lalu. Hingga kini terwarisi dan bisa disimak oleh banyak pihak. Salah satu bentuk "nguri-nguri" sejarah, akulturasi budaya yang abadi dan momentum peranakan itu diantaranya melalui Pekan Budaya Tinghoa Yogyakarta.
Ah, rasanya tidak sabar untuk melihat Ketandan bersolek dalam suasana Imlek. Momentum tahunan ini menambah daftar wisata budaya yang harus dijaga kelangsungannya. terlebih Yogyakarta sebagai kota budaya, tentu akan senantiasa menjadi ruang yang penuh toleransi ,terlepas apapun latar belakang budayanya. Nah, bagi yang berencana ke Yogyakarta, silahkan mampir ke Kampoeng Ketandan ya...