Lihat ke Halaman Asli

Tamita Wibisono

TERVERIFIKASI

Creativepreuner

Akulturasi Masakan Betawi di Warung Makan Tegal

Diperbarui: 18 Mei 2016   19:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pri : Etalase Warteg di kawasan stasiun Cilebut

Siang itu untuk yang kesekian kalinya saya berada di kawasan Cilebut - Kabupaten Bogor. Transportasi massa commuterline mengantarkan saya hingga ke tempat pemberhentian kereta yang tidak penuh sesak karena bukan jam pulang kerja. Jika sore hari tiba, tak seberapa jauh dari stasiun Cilebut ramai aneka sajian kuliner ala kaki 5 berjajar. Dari sekian banyak pedagang kuliner itu,  terdapat  warteg langganan yang berada tak jauh dari pintu keluar stasiun. Beberapa waktu lalu bahkan warteg ini pulalah yang menjadi inspirasi tulisan saya yang berjudul Di balik Etalase Warteg.

Jam sudah menunjukkan waktu makan siang, meski terkesan sedikit lebih awal. Saya pun melangkahkan kaki menuju warung yang berukuran sedang itu. Terlihat hanya ada 1-2 orang saja di dalam  yang sedang menikmati santapan makanan.Setelah duduk di kursi, lebih tepatnya bangku panjang tanpa sandaran, seketika ditanya oleh perempuan yang bertugas melayani.

Usianya bisa dibilang masih muda. Selain dia, ada sosok Ibu yang kelihatannya sebagai di empunya Warteg. Ada pula dua orang laki-laki yang tengah sibuk di dapur. Mereka dapat terlihat karena ada pintu terbuka yang menghubungkan ruang depan dan ruang belakang warteg.

Melihat deret masakan yang tersaji di etalase warteg, entah kenapa saya sedang kurang berselera. Mungkin karena hampir setiap saat saya sempatkan makan di warteg. Alasannya? tentu saja karena harganya lebih hemat. Varian masakan dari jenis sayur, ikan dan lauk lainnya pun beragam. Dan yang  sedikit berbeda adalah saya bisa ngobrol dalam bahasa ngapak.

Agak lama saya terdiam. Mereka-reka menua masakan mana yang bisa menggugah selera saya siang ini. Hingga diwaktu yang bersamaan , masuk seorang ibu menyodorkan uang pecahan Rp. 10.000,- sembari berkata :"Soto Ayam, bungkus".

Saya pun terinspirasi oleh ibu-ibu pembeli soto tadi dan memesan seporsi soto. Kali ini ada pertanyaan yang dilontarkan mbak pelayan

"Soto ayam apa babat?"

"Ayam bae" jawabku.

Saya lebih memilih soto daging ayam ketimbang babat. Bagi sebagian orang, babat merupakan bagian lain dari jenis daging yang bertekstur kasar. Ada yang berwarna sedikit hitam, ada juga yang berwarna putih. Babat juga dikategorikan sebagai salah satu bagian dari jeroan yang biasa diolah sebagai masakan. 

Wajar jika kemudian babat menjadi salah satu daging yang identik dengan soto. Rasa kenyal babat memang cenderung cocok dengan jenis masakan berkuah. Meskipun ada kalanya Babat goreng juga menjadi menu kuliner yang tidak kalah nikmat.

dok.pri. Semangkuk Soto Betawi, alternatif menu Warung Tegal

Tidak begitu lama kemudian, semangkuk soto berkuah santan dengan sepiring nasi yang terpisah disodorkan ke hadapan saya. Sebelum berdoa dan menyendok kuah soto yang kental itu, seperti biasa saya sempatkan mengambil foto. Hasil foto pun terkesan apa adanya. Saya cicip kuah soto sebelum saya sendok ke piring nasi.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline