[caption caption="dok.pri"][/caption]Dalam rangka hari jadi ke 70 Pemerintah Propinsi Jawa Timur di tahun 2015, telah diselenggarakan Festival makanan khas daerah se-bakorwil Madiun pada hari Kamis, 8 Oktober 2015. Event ini berlangsung dari jam 09.30 hingga 13.30 WIB. Perhelatan yang gelar di halaman kantor Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Madiun yang berada di Jalan Pahlawan nomor 31 ini berlangsung meriah. Deretan stan yang diisi oleh perwakilan Kabupaten/kota menyajikan aneka menu masakan khas daerahnya. Sebut saja Kabupaten Ngawi, Kabupaten dan Kota Madiun,Kabupaten dan Kota Blitar, Kabupaten ponorogo, Pacitan,Trenggalek, Tulungagung dan Nganjuk.
Masing-masing daerah memamerkan makanan khas dengan display dan penataan yang menarik. Maklum saja masing-masing Kota Kabupaten merebut perhatian Juri tidak saja dari cita rasa yang menggugah selera. Setelah melalui proses penjurian, Stand dari masing-masing kota/kabupaten tersebut pun menerima serbuan dari pengunjung. Apalagi kalo bukan untuk icip-icip?.
Sebagai penggemar kuliner tradisional, saya merasa kesempatan ini merupakan gelaran yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Sayangnya saya melihat dalam kesempatan festival ini belum banyak dihadiri oleh para Up Dater Kuliner yang siap menggaungkan kuliner lokal ke kancah nasinal bahkan internasional. Hal itu terlihat dari antusiasme pengunjung yang mayoritas berasal dari kalangan birokrasi dan perwakilan masing-masing daerah. Padahal dari media publikasi yang terpasang sebelumnya, event ini diharapkan dapat dikunjungi oleh masyarakat luas.
Berburu Makanan Unik Yang Ciamik
[caption caption="dok.pri"] [/caption] Deretan stand bernuansa warna merah putih itu berjejer. Beberapa stand nampak penuh sesak, bukan saja oleh para pengunjung yang ingin melihat dan mencicip, tapi juga oleh tim yang menyajikan makanan sekaligus mengenalkan nama dan cita rasa masakan khas daerahnya. Tidak semua tim penyaji bersikap pro aktif mengenalkan masakannya pada pengunjung, sebagian hanya duduk, menjaga dan sesekali merapikan meja displaynya.
Saya sendiri sengaja memilih stan-stand tertentu yang memang tim penyajinya terlihat ramah dan mau menjelaskan tentang makananya. Maklum saja, berbicara makanan tidak sekedar untuk dinikmati sesaat, namun juga bisa menjadi investasi pengetahuan yang bisa diimplementasikan dalam planning jangka panjang, sebut saja membuka usah kuliner.
Adalah Blendi, nama yang menurut saya cukup komersil untuk menu makanan daerah. Saya pun mendatangi stand tempat blendi berasal yakni Kabupaten Blitar. Sekilas secara tampilan blendi tidaklah begitu menarik, namun unik. Blendi inilah modifikasi gudeg dengan tampilan super jumbo dan rasa pedas yang mayoritas. tidak ada rasa manis selain rasa gurih pedas dari olahan tewel (nangka muda). Blendi bisa tahan selama 3-5 hari dalam kondisi penyimpanan di kendil (periuk yangterbuat dari tanah liat) dan di hangatkan tiap mau menyantap. Penyajian blendi pun dilengkapi dengan beberapa masakan pelengkap antara lain opor ayam, dan telur kecap. Mirip dengan gudeg yogya bukan? Ibarat serupa tapi tak sama. Blendi juga di olah dalam variasi lain. Disebut Blendi Kering, karena prosesnya di keringkan hingga tidak lagi mengandung air. Selanjutnya di padatkan dan dibungkus dalam gulungan daun pisang, kemudian di bakar. Sepintas mirip dengan Rolade yang berbahan dasar tewel.
[caption caption="dok.pri"] [/caption] Rasa pedas yang diakibatkan mencicip blendi akhirnya berhasil saya redam dengan menu minuman yang laris diserbu pengunjung. Inilah Stand yang cukup rame didatangi pengunjung silih berganti. Sepasang muda-mudi perpakaian tradisional sigap melayani antrian pengunjung mencicip menu minuman tradisional. Stand dari Kabupaten Ponorogo ini selain mendisplay menu andalan yang sudah cukup dikenal berupa sate ayam ponorogo, ada pula sayur tumbuk yang berbahan dasar daun katuk dan kedelai. Sementara untuk minumannya mereka menyediakan wedang sesi yang dibuat dari rebusan daun salam, sereh dan daun sirih. konon minuman ini sangat berkhasiat untuk menjaga daya tahan tubuh.
Tidak kalah laris diserbu pengunjung adalah dawet khas ponorogo yang diberi nama dawet Songgo Langit. Widihh namanya keren. sesuai dengan rasa dan komposisi isi di dalam segelas plastik yang saya nikmati. selain dawet, campuran lainnya brupa tape ketan, potongan buah nangka dan bola-bola berwarna putih yang terbuat dr tepung beras, biasa disebut gempol. Rasa dawet songgo langit? tentu saja manis legit, namun berasa pas dilidah karena takaran santan yang tidak begitu mendominasi.
Tidak semua makanan yang tersaji pada masing-masing stand saya cicipi. Saya sengaja mencari varian menu yang terbilang unik dan jarang ditemukan di tempat-tempat kuliner umum. Setidaknya menu makanan yang belum pernah saya jumpai sebelumnyalah yang menjadi target. Setelah meliha-lihat aneka menu makanan yang tersaji, kurang afdol rasanya bila tidak singgah di stand kota tuan rumah. Kota madiun yang tenar dengan menu vegetarian pecelnya itu menjadi stand terakhir yang saya kunjungi. Disambut ramah oleh para penyaji yang berasal dari gabungan Tim Penggerak PKK dan juga guru SMKN 4 Kota Madiun. Berbincang tentang makanan khas selain pecel tentunya. Dan Benar saja, pada festival kali ini kota madiun mengeluarkaan menu minuman yang segar dengan cita rasa yang berbeda.
[caption caption="dok.pri"]
[/caption] Tape Kambang, Minuman yang bisa menjadi makanan penutup ini menarik perhatian saya. Hampir delapan bulan saya menjadi penduduk kota madiun, belum pernah saya menjumpai penjual minuman jenis ini. Selain berkesempatan mencecap rasa tape kambang yang manis legit segar ini, saya mendapat bonus resep cara membuatnya dari Ibu Nurul, salah seorang tim penggerak PKK Kota Madiun. Tak sulit membuat minuman yang sejak tempo dulu banyak di gemari warga ini. Bahan dasarnya tentu saja Tape singkong,Gula Merah, Air, Kelapa Setengah Tua (tidak terlalu muda). Ada tambahan bahan yang menjadikan minuman ini memiliki rasa istiwema yakni daun jambu air yang masih muda sebanyak 3-4 lembar. Cara membuatnya : Potong dadu besar tape (usahakan tape yang tidak terlalu matang).