Lihat ke Halaman Asli

taminsuwito

Keberuntungan selalu menyertaiku

Komunitas Adat Terpencil, Antara Warga Negara atau Orang Rimba?

Diperbarui: 17 Oktober 2019   15:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Dokumen Pribadi

Beberapa hari lalu penulis mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi sebuah lokasi di Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat. Menilik sebuah tempat dengan tak banyak manusia di dalamnya, dengan hiruk pikuk kehidupan sederhana yang dilakuakan oleh "warga" di lokasi tersebut. 

Ketika yang lain sedang heboh dengan cerita mistis Desa Penari, penulis agak sedikit miris dengan sebuah desa yang penulis kunjungi. Warga Indonesiakah mereka? diakuikah mereka? hadirkah negara? atau mereka memang orang rimba? Dari sudut pandang hukum dan pemenuhan hak mereka belum memiliki identitas selayaknya warga negara yakni NIK (Nomor Induk Kependudukan). 

Dilihat dari sudut pandang kelayakan hidup, penulis kira mereka belum dikatakan layak, rumah "sederhana", sumber penerangan dengan Accu, akses kesehatan dengan jarak yang jauh, bahkan akses untuk MCK (Mandi Cuci Kakus) serta fasilitas untuk hal itu bisa dikatakan nyaris hampir sama dengan Desa Penari yang sedang viral akhir-akhir ini. Pemerintah lantas sedang dimana? .

Pemerintah sedang dimana? sebuah pertanyaan yang pasti muncul di benak para pembaca. Terlelap dalam naungan penerangan Jakarta, tertidur pulas dalam pangkuan kursi hangat di balik meja kerja atau mereka lupa bahwa ada warga negara yang masih dalam pencarian hak-hak dasar mereka?

Jawabannya ialah, Pemerintah mencoba memberi akses layanan dasar kepada mereka untuk "memanusiakan" mereka, dengan cara apa?, bagaiamana? dan siapa yang melakukannya?.

Pertanyaan yang mungkin tidak semua orang tahu jawabannya. Ya, melalui Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (Dit PKAT), Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial, Pemerintah mencoba hadir melalui unit teknis Kementerian/Lembaga (K/L) yang ada, dengan pemberian rumah, bahan bangunan rumah, jaminan hidup, peralatan kerja, bibit tanaman, bimbingan motivasi, bimbingan teknis, bimbingan sosial, pendampingan, advokasi sosial, akses pemenuhan hak-hak dasar dan kebutuhan dasar dan akses penghidupan lain melalui sinergi dengan dunia usaha. Pertanyaan selanjutnya, cukupkah sekian banyak hal tersebut?.

Jawabannya adalah Belum Cukup. Kenapa? apakah program itu gagal?, menurut penulis program itu bukan program untuk membersihkan segala hal yang warga tersebut butuh kan, program yang dilakukan oleh Direktorat Pemberdayaan KAT ini merupakan program awal yang seharusnya bisa diakses oleh K/L terkait lainnya untuk ikut memberdayakan warga di pedalaman. Diperlukan kekompakan, kekompakan antara lintas sektor lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Sinergi, sinergi antara orang-orang yang merasa mempunyai kepentingan bersama dalama membangun Negeri yang sudah 74 tahun merdeka ini. 

Pemenuhan hak dasar dan pemenuhan kebutuhan dasar menjadi dua indikator yang menjadi tolak ukur keberhasilan program pemberdayaan KAT, sejauh mana indikator tersebut tercapai bisa dilihat dari seberapa  banyak akses dan pemenuhan warga KAT tersebut yang bisa dikonfirmasi melalui data di Pusat Data Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatinkessos) dan data yang ada di Direktorat PKAT. 

Program pemberdayaan KAT ini hanya merupakan program yang membuka jalan bagi K/L terkait untuk menjadikan warga di pedalaman dari yang sebelumnya tidak dianggap menjadi dianggap dan diakui oleh negara hingga berhak mendapatkan hak-hak mereka. Memberdayakan manusia merupakan sebuah tindakan nyata yang dilakukanpemerintah untuk hadir bagi warga di pedalaman dan pelosok Indonesia, akan tetapi memberdayakan manusia juga bukan perkara mudah. Mengubah pola pikir dan orientasi pola kehidupan manusia merupakan sebuah hal yang tidak mudah untuk dikerjakan.

Harapan penulis ialah agar K/L selain dari Kementerian Sosial ikut mengambil bagian mengentaskan permasalahan kemiskinan dan membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul tanpa mengubah adat istiadat serta kearifan lokal yang telah terbentuk di lokasi tersebut, apabila hal itu benar dilaksanakan bukan tidak mungkin Indonesia akan terlepas dari jerat kemiskinan yang sudah mendarah daging dari sejak negara ini merdeka 74 tahun yang lalu dan para warga atau komunitas tersebut tidak diakui sebagai orang rimba.

Hidup menetap, bermata pencaharian pasti, mampu untuk baca tulis bahkan berpendidikan tinggi, mempunyai fasilitas penghidupan dan kehidupan yang layak adalah sebuah cita-cita nyata yang diharapkan oleh para pendiri bangsa.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline