[caption id="attachment_271274" align="aligncenter" width="562" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]
(Dimana) Masyarakat Miskin Indonesia?
Tulisan ini saya mulai beberapa menit sejak pemberlakuan harga baru Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Dinamika sebelum atau menjelang kenaikan harga BBM lebih didominasi gerakan sosial masyarakat yang mengarah pada disintegrasi masyarakat Indonesia. Gerakan yang muncul mengarah pada tindakan yang merugikan kepentingan publik. Ketegangan sosial marak di seluruh daerah Indonesia, gerakan yang mengakibatkan ketegangan sosial masyarakat sebagai dampak kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM. Tuntutan yang diagendakan masyarakat lintas elemen seperti mahasiswa dan buruh ialah membatalkan rencana kenaikan harga BBM dan menuntut pemerintahan SBY-Boediono turun karena dinilai gagal mensejahterakan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan serta pemerataan pembangunan. Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM sebenarnya bukan tanpa alasan kuat, Demi stabilitas ekonomi bangsa, penguasa negeri menyatakan bahwa subsidi harus dikurangi dan dialihkan pada program kompensasi yang bentuknya bervariasi, dan tentunya untuk kepentingan seluruh masyarakat Indonesia juga terutama masyarakat miskin. Melalui kementerian-kementeriannya, sosialisasi gencar dilakukan lewat berbagai media yang menyampaikan niatan pemerintah menaikkan harga BBM pada dasarnya berkepentingan pada kelangsungan bangsa dan perbaikan kondisi serta kualitas hidup masyarakat menengah ke bawah. Kini, kebijakan baru terkait harga BBM sudah lahir bagi seluruh rakyat Indonesia. Pergerakan atau ketegangan sosial di tengah masyarakat tidak mampu untuk membendung rencana pemerintah Indonesia. Tiba saatnya bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menerima kebijakan pemerintah, menikmati BBM dengan harga terbaru dan mempercayakan bahwa pemerintah akan mengkompensasikan subsidi BBM kepada masyarakat miskin dan seluruh desa-desa di Indonesia. Kemiskinan menjadi diskusi yang dilematis, kebijakan pemerintah diklaim sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin, orang miskin kini menjadi pihak yang paling sohor dalam rencana dan implementasi kebijakan kenaikan harga BBM. Beberapa catatan dari penulis terkait kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM terhitung sejak 22 Juni 2013 pukul 00.00 WIB. Pertama, pengalihan subsidi dengan mengkompensasikannya melalui Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). BLSM tidak jauh berbeda konseptualisasinya dengan program sebelumnya yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLSM sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap masyarakat yang sangat riskan terkena dampak kenaikan BBM. Pengalihan subsidi BBM kepada masyarakat miskin di Indonesia dilatarbelakangi oleh penggunaan BBM subsidi yang tidak tepat sasaran, selama ini lebih banyak dinikmati masyarakat menengah ke atas. Jika betul kenaikan harga BBM subsidi akan menguntungkan masyarakat miskin tentu harus dibarengi oleh data statistik dan kualitatif terkait siapa yang dimaksud masyarakat miskin dan kerentanan masyarakat miskin yang terkena dampak kenaikan harga BBM apakah dapat diantisipasi? Mengingat kembali program Bantuan Langsung Tunai (BLT) 2008 lalu, dana kompensasi tidak tepat sasaran, yang benar-benar miskin justru tidak mendapatkan dana BLT, sebaliknya mereka yang tergolong mampu ternyata mendapatkan dana tersebut. Sebelum harga BBM naik ternyata masyarakat sudah lebih dulu mengalami kesulitan di berbagai sektor kehidupan, harga sembako dan kebutuhan dasar sudah terlebih dahulu naik, begitu pula dengan tarif angkutan umum, padahal belum ada aturan resmi dari kementerian perhubungan dan pihak terkait. Catatan kedua, Setelah pemerintah menaikkan harga BBM subsidi atau mengurangi subsidi BBM muncullah kebijakan lanjutan pemerintah yakni mengalihkan dana subsidi BBM bagi kepentingan masyarakat miskin Indonesia melalui berbagai program kompensasi seperti BLSM, beasiswa miskin, dana pengembangan desa-desa, dan pengembangan infrastruktur. Pengulangan bentuk perhatian pemerintah terhadap masyarakat tampak saat program BLT dimodifikasi menjadi program BLSM. Memberikan dana langsung bagi masyarakat diyakini pemerintah sebagai upaya untuk kebertahanan masyarakat miskin yang paling rentan terkena dampak kenaikan harga BBM. Sebaliknya, penulis berpendapat bentuk pemerintah seperti ini justru membiasakan masyarakat untuk menerima dana langsung dari pemerintah, tidak ada asumsi ilmiah yang dapat membuktikan bahwa dana kompensasi langsung dapat memberdayakan masyarakat miskin tersebut. Jika hanya sekedar untuk kebertahanan masyarakat miskin, durasi waktu kompensasi subsidi selama 4 bulan sangatlah singkat, setelah itu gejolak masyarakat terutama kelas bawah akan meningkat drastis dan berdampak pada tatanan sistem dan struktur sosial masyarakat. Fenomena kriminalitas, konflik horizontal, busung lapar, nasi aking akan bermunculan, itu semua merupakan tampilan sistem dan struktur sosial masyarakat yang mengalami kekacauan. Peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat perlu cara yang menyentuh masyarakat terbawah, tidak sekedar pemberian dana langsung namun program yang berbasis partisipasi masyarakat, peningkatan program yang memperluas lapangan pekerjaan dan program yang ditujukan untuk pemerataan pembangunan, contoh antara perkotaan dan perdesaan, daerah industri dan daerah pesisir. Catatan ketiga, mengingat pemilihan umum akan dihelat pada tahun 2014 banyak pihak menduga kebijakan kenaikan harga BBM sebagai langkah yang bermuatan politis tentunya akan menguntungkan pemerintah, partai penguasa beserta partai koalisinya. Saat ini pemerintah beralasan kuat kenaikan harga BBM diakibatkan pengurangan beban subsidi negara terhadap BBM yang kemudian dana subsidinya dialihkan pada program kompensasi BBM. Setahun menjelang pemilu, tahun 2013 ini sangat tepat menyebutnya sebagai tahun politik, strategi pencitraan dan meraup simpati saat inilah masanya. Boleh saja koalisi setgab dan pemerintah membela diri dengan menyatakan bahwa menaikkan harga BBM bukanlah program populis, dan akan berdampak pada menurunnya elektabilitas. Namun bagi penulis atau siapa saja yang perhatian terhadap langkah pemerintah dan partai koalisi, bahwa kebijakan menaikkan harga BBM di 22 Juni 2013 ini justru sebagai suatu proses yang dirangkai rapi, ditujukan bagi kepentingan pemerintah dan partai koalisi yang ingin mengharap simpati dan dukungan masyarakat Indonesia. Bukan tidak mungkin kebijakan pemerintah akan berbalik saat harga BBM diturunkan atau negara kembali menanggung beban subsidi BBM. Tentu ini merupakan asumsi yang sekedar dugaan semata, namun apapun itu di dalam UUD 1945 negara dan pemerintah diamanatkan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Kepentingan seluruh rakyat Indonesia menjadi hal yang paling utama dalam kelangsungan Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Data BPS Sept 2012 (sebelum kenaikan BBM), jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,66 persen). Tugas kita sebagai warga negara Indonesia, mari menunggu sekaligus bandingkan seberapa banyak jumlah masyarakat miskin setahun kemudian dari September 2012, atau saat usainya masa pembayaran dana kompensi subsidi melalui BLSM dan implementasi program-program kompensasi. Jika jumlah masyarakat miskin di Indonesia menurun dikarenakan efek positif penyaluran dana kompensasi BBM, penting untuk pembuktian secara ilmiah, tidak sekedar data angka. Supaya tidak ada lagi pertanyaan dimana masyarakat miskin? Pertanyaan yang meragukan niatan kompensasi kenaikan harga BBM. Mahasiswa Pascasarjana Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP, Universitas Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H