By. Tamariah Zahirah
Februari kembali datang membawa sebingkai harapan yang bertandang. Ia datang tanpa diundang. Pun bukan pecundang yang datang dan pergi tanpa berjuang, sebab hadirnya keniscayaan berulang di setiap perhelatan musim rindang. Melintasi ruang waktu yang penuh aral dan rintang.
Februari menjelma rupa, menembus batas kekakuan masa dalam bingkai kelaziman takdir, ikhlas melepas gugur menyambut warna baru pagelaran keindahan musim semi. Kali ini aku ingin bercerita tentang rindu yang menggenapkan rasa ketika Januari mengakhirinya dengan air mata, kupuisikan asma dalam keindahan metafora nan gelora.
Entah apa lagi yang ia janjikan, setelah sekian purnama hilang ditelan kegersangan hanya kerontang menghiasi bumi. Aku menghitung setiap deret angka yang usang, bersiap menata rasa meratapi hari-hari yang berlalu tanpa permisi ketika semesta berada di titik paling pasrah menghadapi uji yang resah, sedang diri tertinggal pada keterasingan ruang sunyi.
Kini hanya gigil yang tersisa dalam seraut wajah legam Februari, selepas dihujani sedu yang berselimut angan di tepi peraduan gulita tanpa harapan. Dalam redup cahaya purnama yang menampakkan putih pasi menanti asa merangkul optimis menyambut pertemuan di awal kalender yang manis. Bunga-bunga masih hingar menguarkan harum kerinduan yang rekah.
Februari merias ingin, menawarkan semai dedaunan hijau dan rindang pepohonan beringin, mencurahkan rintik hujan di setiap jengkal malam yang fasih memuisikan sajak-sajak mimpi. Namun perlahan ia mulai lelah menyuarakan gemerisik daun-daun yang disapa angin. Ranting bercerai berai, lalu patah diremuk redam ketamakan ego. Biarlah Februari menikmati segala titah, sebelum berganti Maret yang entah.
Bekasi, 01 Februari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H