By. Tamariah Zahirah
Di lembaran kedua halaman pagi ini, hujan masih menggenangi taman-taman kerinduan yang basah. Bertabur rintik melodi sambut harapan yang julang di ringkih gigil hari, jiwa ini enggan memanggil pulang, angan masih setia bertebaran di ruang fantasi tanpa batas ekspresi.
Aku terdiam menikmati nyanyian gemericik sepi yang menghadirkan setampuk mimpi, intuisi terpatri bergelut dengan aksara yang memasung keheningan rasa. Kucoba perlahan membaca sebait kata demi kata, namun tak jua kutemui alur cerita, hanya kebuntuan yang mengendap di ruang kepala.
Entah sudah berapa kali jemari menambatkan keelokan tarian pusaka dalam kefasihan merangkai kisah paling angkasa, namun pada kenyataannya berakhir di titik lelah belaka. Koma merias harsa memaksa jeda dalam letih yang membubuhi tinta-tinta pewakil rasa.
Halaman ini telah purna dalam kepingan-kepingan rindu yang tak utuh di simpang gulana. Sebab tak ada lagi pewaris kata yang meneduhi keindahan dalam balutan warna seranum kuncup nama di terang purnama. Semusim hangat telah berganti sedu pada hari-hari yang kelabu. Haruskah beku dihantam kebisuan takdir yang tabu.
Bekasi, 19 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H